Kompetisi Blog Pesona Sumatera Selatan

mungkin

By Ismerisa_Elzahiera | Jumat, 15 Maret 2013 | 0 komentar

ya mungkin aku kan melakukan hal yang salah lagi..... salah berulang-ulang kali.... menjadi org jahat dia antara yang terjahat..... dan aku ingin meminta maaf... ya... suatu saat tapi aku beum memiliki kemampuan dan keberanian untuk itu, karna perasaan yang tak pantas ini... pada mereka yag tersakiti olehku..... tapi entah kapan waktunya.... banyak hal bodoh yang aku lakukan, dan aku tau itu.. bahkan sadar kalo itu tak pantas aku lakukan, tapi mengapa aku masih saja melakukannya.... :(
terkadang aku benci pada diriku sendiri............ kenapa aku seperti ini..... gak punya pendirian... hidup kaya gini dan selalu saja terlena dengan hal yang gak sepantasnya membuatku begini................




Tuhan........... jangan jadikan aku org jahat hanya karna perasaan yang telah Engkau tumbuhkan di hatiku....... sungguh aku tak ingin ini terjadi....... :(


Tuhan... aku ingin mnegatakan aku ingin menyerah atas perasaan ini.... selesaikan sampai disini..... aku tak mau lagi menunggunya... aku tau dy sangat sempurna... aku yang terlalu biasa.... kesalahanku tak bisa melihat kebaikan lelaki lain hanya karna kesempurnaan hamba_MU yang seperti dy.... Engkau tau berapa lama kau menunggunya...
aku takut, semua ini membuatku menjadi seseorang yang tak berguna hanya karn aperasaan ini..... :(

hunting

By Ismerisa_Elzahiera | Jumat, 08 Maret 2013 | 5 komentar

kali ini aku akan nampilin hasil hunting bareng temen2Q.....kemaren di hutan arah kewonosari..... sebenarnya hasil n fotografernye si emang dah keren.... hanya saja modelnya yang kurang bisa bergaya hahhhaa tapi yang pastinya aku puas dengan hasil foto2 ini.... :)
























Mengemis Kasih

By Ismerisa_Elzahiera | Rabu, 06 Maret 2013 | 0 komentar


Pernah suatu ketika aku merasa sangat rendah..... merasa tak berguna sama sekali dihadapan orang lain.... aku menyesal telah melakukan hal yang tak seharusnya aku lakukan, menyesal karna banyak hal indah yang aku lewatkan dan tak aku sedari itu....
pernah juga aku meminta agar Allah mengembalikan waktu yang lalu ketika aku merasa sangat bahagia..... dan sering aku mengeluh karna getirnya kehidupan..... bahkan sering sekali aku memberontak dengan takdir yang menurutku gak adil.......
ada hal yang sangat aku sesali... ya ... seharusnya ini tidak lah terulang untuk kesekian kalinya...
tapi entah kenapa selalu saja berulang... apa karna kelemahanku dan hatiku ... aku pun tidak tau...
pernah aku memohon-mohon  hingga menangis tersedu-sedu di setiap doa saat sholatku dan sujudku kepada Tuhan untuk seseorang hambanya yang aku sukai, agar ia membuka hatinya untukku.... rasanya tak bisa lagi melihat kebaikan lelaki-lelaki lain yang meminta hatiku hanya karna cinta buta yang aku sendiri tak tau sebabnya kenapa.....
ingat lagu ini: lagu nasyid dari Raihan (mengemis Kasih) yang aku suka udah bertahun-tahun lamanya....kata2nya dalem banget....liriknya seperti ini:

Tuhan dulu pernah aku menagih simpati kepada manusia yang alpa jua buta....
Lalu terhiritlah aku dilorong gelisah luka hati yang berdarah kini jadi kian parah....
Semalam sudah sampai ke penghujungnya kisah seribu duka ku harap sudah berlalu
Tak ingin lagi ku ulangi lagi gerak dosa yang menghiris hati....
Tuhan dosaku menggungung tinggi, tapi rahmatmu melangit luas...
Harga selautan syukurku hanyalah setitis nikmatmu di bumi.....
Tuhan walau taubat sering ku mungkir, namun pengampunanmu tak pernah bertepi
Bila selangkah ku rapat padamu, seribu langkah kau rapat padaku......

Kata-kata di lagu ini benar2 melukiskan isi hatiku.... seharusnya aku membuka mata, melihat lebih luas kehidupan dan masa depanku....  walaupun sebenarnya hati sakit karna perasaanku tak di hargai, tapi  paling tidak aku belajar tentang ketulusan hati mencintai dengan ikhlas....:)
Tadi malam semua sudah diakhiri ....perasaan ingin memiliki seseorang yang tak pandas untukku... dia memang terlalu jauh dan sempurna untuk aku yang penuh dengan kekurangan...seharusnya bila ingin mendapatkan seseorang yang sebaik dia, aku haruslah lebih dulu memperbaiki diriku dan membuat aku mejadi pantas untuk dicintai....  (Jadi pengen nangis :’( )
Beberapa hari yang lalu, aku pernah baca tulisan yang isinya kurang lebih seperti ini:

Tuhan... kenapa wanita sering menangis???
Jawab Tuhan:                 
Karena wanita itu unik.....
Aku ciptakan sebagai makhluk istimewa
Ku kuatkan bahunya untuk menjaga anak-anaknya
Ku lembutkan hatinya untuk memberi rasa aman
Ku kuatkan rahimnya untuk menyimpan benih manusia
Ku teguhkan pribadinya untuk terus berjuang saat yang lain menyerah
Ku beri ia naluri untuk mencintai anak-anaknya dalam keadaan apapun
Ku kuatkan bathinnya walaupun dikhianati oleh teman dan orang-orang yang ia sayangi
Tapi jika suatu saat ia menangis.....
Itu karena  Ku beri dia air mata untuk membasuh luka bathin yang tidak bisa dikatakan dan memberi kekuatan agar ia lebih kuat.... Karena  wanita..... Kamu istimewa..... ^_^

Dari semua ini banyak hal yang harusnya aku ambil hikmahnya untuk mewujudkan masa depan yang lebih indah .....:)dan tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan....^_^

Do'a untuk imamku di masa depan

By Ismerisa_Elzahiera | Sabtu, 02 Maret 2013 | 2 komentar

Ya Allah...
Aku berdoa untuk seorang Pria yang akan menjadi imam dalam hidupku kelak...
Seorang Pria yang mencintaiku dengan ikhlas.....
Pria yang meletakkanku pada posisi kedua dihatinya setelah-Mu....
Pria yang hidup bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk-Mu....

Ya Allah...
Berikan aku Pria yang memiliki hati yang bijak, Bukan hanya otak yang cerdas...
Pria yang tidak hanya mencintaiku tetapi juga menghormatiku...
Pria yang tidak hanya memujaku tetapi juga membimbingku...
Pria yang mencintaiku bukan hanya karena fisikku tapi juga hatiku...
Pria yang dapat menjadi sahabat terbaik dalam setiap waktu..
Pria yang dapat menghargaiku sebagai seorang wanita saat berada disisinya... 
Pria yang mencintaiku bukan karna rupa, hartadan statusku, tetapi karna-Mu....
Pria yang dapat membuatku menjadi wanita sholehah ketika aku berada disisinya...
Pria yang akan selalu mengingatkanku disaat aku lalai kepada-Mu...

Ya Allah...
Aku tak meminta Pria yang sempurna ....
Aku hanya meminta Pria yang membutuhkan dukunganku sebagai pendampingnya dikala suka dan duka...
Pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya.....
Pria yang membutuhkan senyumanku untuk mengatasi kesedihannya...
Pria yang membutuhkanku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna...

Ya Allah....
aku tahu diriku banyak kekurangan dan karena itulah aku perlukan seseorang yang lebih halus untuk menaklukkan hatiku...
seorang yang tegas dan teguh untuk menguatkan hatiku yang lemah dengan izin-Mu....
Aku tahu terlalu banyak yang harus kuperbaiki....
Oleh karna itu aku meminta dia yang Engkau pilih untuk lebih mengajariku dengan sabar hingga bertambahlah imanku terhadap-Mu..

Ya Allah...
ketika Engkau menjadi alasan paling utama untukku mencintai seseorang, maka aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat segala kekurangannya.... dan sekuat tenaga pula, aku mencoba membahagiakan dia.....

Ya Allah...
Tuhan yang Maha Membolak Balikkan Hati, Sungguh hatiku ini lemah untuk berdiri sendiri.... kabulkan doa hamba yang lemah ini ya Rabb....Amiiinnnn......... ^_^

KONTEKS MEDIA MASSA

By Ismerisa_Elzahiera | Jumat, 01 Maret 2013 | 0 komentar


Komunikasi Massa dalam Masyarakat Kontemporer
Masyarakat kontemporer tidak hanya mempengaruhi media massa dan komunikasi namun ia sendiri juga dipengaruhi oleh komunikasi massa atau termediasi (lihat Cathcat & Gumpert, 1986; Lowery & DeFleur, 1983). Jarang sekali sebuah hari berlalu tanpa disebutkannya betapa media dan komunikasi massa mempengaruhi kehidupan kita. Surat kabar dan laporan radio meneriakkan headline seperti "Studi menemukan hubungan antara bunuh diri oleh remaja dengan berita TV dan film," dan, "Acara prime-time di TV ditemukan memiliki unsur kekerasan lebih banyak dari video rock." Melalui media massa, masyarakat mempelajari hampir seketika tentang peristiwa besar di berbagai belahan dunia. Sebagai pemirsa, kita seringkali menyaksikan kejadian global baik yang menggembirakan maupun yang mengharukan. Kebanyakan rumah di Amerika sedikitnya memiliki 1 televisi dan 1 radio. Seringkali, teknologi mediasi  yang baru juga ditemukan di rumah kita: videotape recorder, televisi kabel dan satelit, dan personal computer yang terhubung pada database sentral melalui modem. Teknologi-teknologi tersebut mengubah sifat dari komunikasi "massa."
Salah satu konsekuensi dari inovasi ini dan perubahan sifat dari penggunaan media adalah perkembangan teori baru dalam komunikasi massa. Teori-teori tersebut mencooba menjelaskan bagaimana individu merespon pada media, memprediksi seberapa cepat masyarakat akan mengadopsi inovasi tersebut, dan upaya untuk menentukan apakah efek media massa pada individu, masyarakat, bentuk lain dari komunikasi manusia, dan kebudayaan. DeFleur dan Ball-Rokeach (1982) menyarankan 3 pertanyaan besar yang menstimulasi banyak penelitian dan pembangunan teori dalam komunikasi massa:
                1. Apakah pengaruh masyarakat terhadap media massanya?
                2. Bagaimanakah komunikasi massa terjadi?
                3. Apakah pengaruh keterpaan terhadap komunikasi massa terhadap masyarakat?
Hingga akhir-akhir ini, beberapa upaya penelitian komunikasi massa dirancang untuk mengeksplorasi pertanyaan pertama. Baru-baru ini, upaya penelitian komunikasi massa menyelidiki peran masyarakat, budaya, dan individu dalam produksi konten komunikasi massa.  Pertanyaan kedua menyelidiki bagaimana komunikasi massa berbeda dari bentuk komunikasi manusia yang lainnya. Perbedaan antara komunikasi massa dan komunikasi interpersonal telah menstimulasi sejumlah penyelidikan bagi peneliti komunikasi. Beberapa teori telah mempelajari bagaimana komunikasi massa dan komunikasi interpersonal bekerja sama mempengaruhi proses pembuatan keputusan seorang individu. Teori lainnya mencoba menawarkan sintesa baru dari komunikasi interpersonal dan massa, yang berlabel komunikasi interpersonal termediasi. Banyaknya teori dan penelitian komunikasi massa ditujukan pada Pertanyaan 3. Banyak pembuat teori telah menyelidiki bagaimana pesan media massa  mempengaruhi persepsi dan perilaku masyarakat. Contoh teori-teori tersebut akan dijelaskan secara detail pada bab ini. Beberapa teori berusaha memahami keterlibatan audiens dalam komunikasi massa. Teori lainnya berusaha menjelaskan bagaimana pesan termediasi membentuk persepsi kita tentang realitas. Sementara penelitian lain menyelidiki bagaimana aturan komunikasi digunakan untuk memandu interaksi kolektif anggota audiens dengan media massa.

Pengaruh Komunikasi Massa
Terlepas dari berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh teori-teori, nampaknya jelas bahwa media massa memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat, budaya, dan perilaku individu. Memang, komunikasi massa telah menjadi salah satu pengaruh paling kuat dalam masyarakat kontemporer. Loevinger (1979) menawarkan apa yang disebut Teori "Reflektif-Proyektif" bagi komunikasi massa. Teori ini mengatakan bahwa media massa bertindak seperti "cerminan masyarakat." Cermin tersebut merefleksikan gambar ambigu yang dilihat tiap individu maupun memproyeksikan tidak hanya pandangan individu, tapi juga pandangan masyarakat. Media tidak hanya mencerminkan perilaku dan nilai masyarakat tetapi juga memproyeksikan banyak pandangan dari anggota-anggota sebuah masyarakat. Anggota audiens melihat media dengan pandangan atau bayangan mereka sendiri. Loevinger membandingkan proses ini dengan sebuah tes Rorschach. Tes ini biasanya digunakan oleh psikologis, mempersilahkan individu memproyeksikan ide, bayangan, dan pandangan mereka sendiri untuk menginterpretasikan stimuli yang ambigu seperti bercak-bercak tinta. Secara serupa, media massa menawarkan gambar-gambar terpilih yang menyediakan dasar bagi interpretasi individu. Interpretasi tersebut dapat beragam tergantung pada karakter intelektual, emosional, dan sensori serta tingkat responsif individu. sebagai bukti dari akibat media dalam masyarakat kontemporer, Loevinger berpendapat bahwa bangsa atau komunitas tidaklah harus dibentuk dibentuk oleh peta atau batasan geografis. Namun, bangsa atau komunitas dibentuk oleh gambaran atau pandangan yang sama, bersama dengan minat, ide, dan budaya yang sama. Media massa mencerminkan gambaran sosial dari massa.

Upaya Pembangunan Awal Teori dalam Komunikasi Massa
Perkembangan Masyarakat "Massa"
Seiring masyarakat menjadi semakin besar dan bertambah "massa", terdapat pertumbuhan yang serupa dalam komunikasi massa. Teori-teori dikembangkan untuk menjelaskan pengaruh bentuk-bentuk komunikasi baru tersebut dalam masyarakat. Selama Perang Dunia I, media massa baru digunakan untuk membantu memobilisasi populasi (fungsi mobilisasi) dan menciptakan dukungan untuk berbagai upaya perang. Istilah "propaganda" pertama muncul dalam waktu tersebut. Pesan yang dirancang untuk menstimulasi dan menimbulkan dukungan bagi upaya perang tersebut disebarkan melalui media massa. Media yang baru saja dikembangkan itu digunakan secara efektif untuk mengangkat mempromosikan kepercayaan bangsa yang sedang berperang. Komunikasi massa menjadi sebuah alat penting digunakan oleh individu yang terlibat dalam upaya persuasi berskala besar. Setelah Perang Dunia I, masyarakat di Amerika menyaksikan pertumbuhan individualitas yang semakin besar; masyarakat menjadi semakin tidak homogen. Individu tidak lagi bergantung satu sama lain. Istilah "masyarakat massa" diciptakan oleh sosiolog untuk mendeskripsikan tidak hanya sejumlah besar orang dalam sebuah kebudayaan, tetapi hubungan antara individu dan aturan sosial di sekitar mereka (DeFleur & Ball-Rokeach, 1982). India dan China, sebagai contoh, adalah kebudayaan yang memiliki masyarakat berjumlah besar. Aturan sosial dari 2 kebudayaan tersebut tidak mengijinkan heterogenitas, independensi, individualitas, dan otonomi, seperti yang dimiliki masyarakat "massa" Amerika.

Teori Peluru
Terkadang disebut juga dengan "Teori Jarum Hipodermik" atau "Teori Stimulus - Respon Mekanistis" dari komunikasi massa, Teori Peluru adalah salah satu teori pertama yang dikembangkan tentang efek perkasa dari media pada audiens. Teori peluru dan banyak variasi kecil lainnya berasal dari pandangan stimulus-respon yang dipegang teguh oleh beberapa peneliti dan pembuat teori komunikasi massa pada awalnya. Pandangan ini menyatakan bahwa stimulus yang kuat seperti sebuah pesan media massa dapat memprovokasi sebuah reaksi atau respon yang seragam dari suatu organisme, contohnya audiens. Ingatlah kembali bahwa media massa dianggap memiliki pengaruh langsung yang kuat terhadap audiens. Teori Peluru atau Jarum Hipodermik menyarankan bahwa media massa dapat mempengaruhi sekelompok besar orang secara langsung dan seragam dengan "menembak" atau "menyuntik" mereka dengan pesan sesuai yang dirancang untuk membangkitkan repon yang diinginkan. Popularitas dari teori awal stimulus-respon tersebut konsisten dengan teori masyarakat massa yang terdapat di psikologi dan sosiologi. Sebagai tambahan, "bukti" kekuatan media terdapat pada kemampuannya mendukung mobilisasi untuk upaya perang. Media massa yang baru muncul ternyata memiliki efek yang dahsyat terhadap audiens, tetapi juga terdapat beberapa faktor bebas lain yang memiliki pengaruh besar terhadap audiens pada waktu itu. Setelah melakukan penelitian tambahan selama bertahun-tahun, peneliki komunikasi massa menyumpulkan bawa teori stimulus-respon awal tersebut tidak memiliki penjelasan lengkap dan kemampuan prediksi. Mereka mengembangkan teori alternatif yang meliputi tidak hanya kekuatan media untuk mempengaruhi sikap dan perilau, tetapi juga pengaruh dari sumber pesan dan reaksi audiens yang berbeda. Contoh teori alternatif tersebut nanti akan dijabarkan di bab ini.

Teori Dua Tahap Komunikasi Massa
Salah satu teori awal dari komunikasi massa yang mengenali terdapat banyak variabel yang mengubah efek pesan pada respon audiens adalah Teori Dua Tahap dari komunikasi massa (Katz & Lazarsfeld, 1955). Untuk menguji pengaruh langsung dan kuat dari media massa terhadap perilaku audiens yang dihipotesiskan, beberapa peneliti merancang sebuah studi untuk memeriksa bagaimana individu dari kelompok sosial berbeda memilih dan menggunakan pesan komunikasi massa untuk mempengaruhi pemilih (lihat Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet, 1944). Peneliti berharap akan menemukan bukti empiris bagi pengaruh langsung pesan media terhadap keinginan memilih. Namun mereka terkejut karena menemukan bahwa kontak personal yang informal ternyata disebutkan lebih sering daripada terpaan terhadap radio atau surat kabar yang meruakan sumber pengaruh potensial bagi perilaku pemilih. Saat ditanyai lebih lanjut, beberapa partisipan mengunkapkan bahwa mereka telah menerima informasi tentang kampanye lebih dahulu dari orang lain (yang menerima informasi langsung dari media massa).
Dipersenjatai dengan data ini, Katz dan Lazarsfeld mengembangkan Teori Dua Tahap bagi komunikasi massa. Teori ini menyatakan bahwa informasi dari media bergerak dalam 2 tahap yang jelas. Pertama, individu yang memperhatikan media masa dan pesannya menerima informasi. Individu tersebut, disebut pemimpin opini, umumnya adalah orang-orang yang mendapat informasi dengan baik dan meneruskan informasi itu ke orang lain melalui komunikasi interpersonal yang informal. Pemimpin opini juga meneruskan interpretasi mereka sendiri sekaligus dengan konten media yang sebenarnya. Istilah "pengaruh personal" digunakan untuk merujuk kepada proses intervensi antara pesan langsung media dan reaksi akhir audiens terhadap pesan. Selama 45 tahun terakhir banyak sekali penelitian yang menghasilkan pengetahuan yang cukup mengenai kepemimpinan opini. Beberapa karakteristik pemimpin opini telah teridentifikasi. Pemimpin opini cukup berpengaruh dalam mengubah sikap dan perilaku orang-orang dan cukup serupa dengan mereka yang dipengaruhinya. Pikirkan seseorang yang Anda ajak konsultasi sebelum membuat pembelian besar. Mungkin Anda memiliki seorang teman yang mengetahui banyak hal tentang mobil. Anda mungkin mendengar sejumlah pesan di televisi tentang kualitas yang baik dari Fort Tempo atau Toyota Camry. Media massa jelas-jelas memberi Anda informasi tentang tiap mobil, tapi apakah Anda sepenuhnya bergantung kepada informasi ini untuk menentukan mobil mana yang akan Anda beli? Jika Anda seperti kebanyakan orang, jawabannya tentu tidak. Anda mungkin pergi ke perpustakaan dan memeriksa Laporan Konsumen untuk menentukan apa yang mereka bilang tentang 2 mobil tersebut. Apakah informasi ini cukup untuk membujuk Anda memilih salah satu mobil tersebut? Mungkin, tapi kemungkinan Anda juga akan mencari nasehat dari seseorang yang Anda anggap seorang pemimpin opini dalam topik kendaraan.
Teori Dua Tahap telah mengembangkan pemahaman kita tentang bagaimana media massa mempengaruhi pengambilan keputusan. Teori tersebut menajamkan kemampuan kita untuk memprediksi pengaruh pesan media terhadap perilaku audiens dan juga membantu menjelaskan mengapa kampanye media tertentu gagal untuk mengubah sikap dan perilaku audiens. Terlepas dari kontribusi tersebut, Teori Dua Tahap juga menerima kritik. Pertama, beberapa berita penting nampaknya disebarkan langsung oleh media dan hanya sedikit mendapat intervensi dari kontak personal. Kehancuran pasar saham pada tanggal 19 Oktober 1987 adalah salah satu kejadian yang didengar kebanyakan orang pertama kali dari media, baru kemudian didiskusikan secara interpersonal. Kedua, definisi pemimpin opini seringkali masih belum jelas. Severin dan Tankard (1988) mengatakan bahwa beberapa pemimpin opini menominasi dirinya sendiri, tapi tidak dilaporkan sebagai pemimpin opini oleh orang yang semestnya menjadi pengikut mereka. Kesulitan lain adalah bahwa pemimpin opini ditemukan bersifat baik aktif maupun pasif. Teori Dua Tahap berpendapat bahwa pemimpin opini adalah pencari media aktif, sementara pengikut mereka adalah "spons" informasi yang pasif. Perbedaan antara perilaku media dari pemimpin dan pengikut tersebut belumlah terntu benar. Terakhir, walaupun Katz dan Lazarsfeld berpendapat perlunya sebuah model 2 tahap, proses penyebaran media dan perilaku audiens dapat mencakup lebih banyak tahap. Hal ini membuat Teori Dua Tahap kemudian memberi jalan bagi lahirnya Teori Banyak Tahap bagi komunikasi massa. Teori Banyak Tahap ini seringkali digunakan untuk mendeskripsikan difusi inovasi.

Teori Difusi
Penelitian yang membahas difusi menyelidiki bagaimana ide baru dapat menyebar di antara kelompok masyarakat. Teori Dua Tahap pada dasarnya membahas pertukaran informasi antara media dan orang lain. Penelitian difusi melangkah lebih jauh. Penelitian difusi berpusat pada kondisi yang meningkatkan atau mengurangi kemungkinan sebuah ide, produk, atau perilaku baru akan diadopsi oleh anggota dari sebuah kebudayaan. Penelitian difusi berfokus pada 5 elemen: (1) karakteristik dari sebuah inovasi yang dapat mempengaruhi proses adopsinya; (2) proses pengambilan keputusan yang terjadi saat individu mempertimbangkan untuk mengadopsi sebuah ide, produk, atau perilaku baru; (3) karakteristik individu yang membuat mereka lebih mungkin mengadopsi sebuah inovasi; (4) konsekuensi bagi individu dan masyarakat jika mengadopsi sebuah invoasi; dan (5) saluran komunikasi yang digunakan dalam proses adopsi (lihat Rogers, 1983).
Dalam bidang saluran komunikasilah Teori Dua Tahap telah dikembangkan. Saluran komunikasi mencakup baik media massa maupun kontak interpersonal. Teori Banyak Tahap dan Difusi mengembangkan jumlah dan jenis penyentara antara media dengan pengambilan keputusan audiens. Dalam penelitian difusi banyak tahap, pemimpin opini masih memiliki pengaruh terhadap perilaku audiens via kontak personal mereka, namun penyentara tambahan yang disebut agen dan penjaga gerbang juga dimasukkan ke dalam proses difusi. Agen perubahan adalah para profesional yang mendukung pemimpin opini untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Penjaga gerbang adalah individu yang mengontrol aliran informasi menuju kelompok masyarakat tertentu. Sementara pemimpin opini biasanya cukup serupa dengan pengikutnya, agen perubahan biasanya lebih teredukasi dan memiliki status lebih tinggi dari pemimpin opini maupun pengikutnya. Agen perubahan mungkin saja berupa seorang perwakilan dari perusahaan televisi kabel nasional yang berusaha membujuk pemimpin opini dalam sebuah komunitas (petugas kota, sebagai contoh) bahwa televisi kabel harus terpasang di kota mereka. Contoh lain agen perubahan adalah seorang perwakilan perusahaan komputer yang berusaha meyakinkan petugas sekolah lokal untuk menggunakan komputer tertentu pada sistem sekolah. Perwakilan ini kemungkinan lebih berpengetahuan tentang sistem komputer daripada pemimpin opini (petugas sekolah). Namun, tugas mempengaruhi dewan kota untuk menyediakan uang bagi komputer tersebut tetap terletak pada pemimpin opini lokal. Ingatlah kembali bahwa pemimpin opini serupa dengan orang-orang yang diwakilinya. Penelitian sebelumnya (Bab 9) menyarankan bahwa keserupaan atau homofili meningkatkan atraksi, kesukaan, dan pengaruh. Seorang penjaga gerbang dapat berupa editor dari surat kabar atau acara berita lokal. Orang ini menentukan cerita apakah yang akan dicetak atau disiarkan. Penjaga gerbang mewakili tahap lain dalam aliran informasi antara media dengan audiens. Sehingga, proses penyebaran dan pengaruh informasi menjadi lebih rumit daripada yang dijelaskan Teori Dua Tahap.

Teori Komunikasi Massa Kontemporer
Dalam dua setengah dekade terakhir telah terjadi ledakan perkembangan dalam pembangunan teori interpersonal, persuasi, organisasional, nonverbal, dan komunikasi konteks interkultural. Upaya pembangunan teori dalam komunikasi masa memiliki pertumbuhan yang sama dengan konteks lainnya, bermula dengan upaya awal pembangunan teori yang amat bergantung kepada teori psikologi dan sosiologi, dan berakhir dengan upaya akhir-akhir ini untuk menyatukan teori-teori komunikasi massa (McQuail, 1987). Bidang komunikasi massa telah menghasilkan teori yang mampu "berdiri sendiri" tanpa mengandalkan bidang lain seperti psikologi dan sosiologi dalam upaya membangun teori. Beberapa teori kontemporer dikembangkan oleh cendekiawan komunikasi akan disajikan di bawah. Teori pertama, pendekatan fungsional, telah dikembangkan dari penelitian awal dan terus dipoles hingga kini.

Teori Pendekatan Fungsional bagi Komunikasi Massa
Media massa dan komunikasi massa memiliki banyak fungsi bagi masyarakat kita. Salah satu keunggulan utamanya adalah nilai hiburannya. Kita pulang ke rumah setelah hari yang melelahkan di sekolah atau kantor dan menyalakan program komedi televisi, acara kuis, atau drama favorit kita. Penggunaan utama dari media lainnya adalah memberikan informasi. Berkendara ke sekolah atau ke kantor, kita menyalakan radio dan mendengarkan berita terbaru, cuaca, atau skor pertandingan. Atau, kita dapat mendengarkan program talk show favorit kita untuk mendengar apa yang dipikirkan orang lain tentang hubungan yang membaik antara Amerika Serikat dan Soviet. Dua cendekiawan, Lasswell (1948) dan Wright (1960), telah mempelajari fungsi komunikasi massa. Lasswell mengartikulasikan 3 fungsi komunikasi massa: pengawasan, korelasi, dan transmisi kultural. Fungsi keempat, yaitu fungsi hiburan, ditambahkan oleh Wright. Tiga puluh tahun kemudian, 4 fungsi tersebut membangun dasar bagi pendekatan fungsional komunikasi massa. Baru-baru ini, McQuail (1987) menambahkan fungsi kelima yang disebut mobilisasi.

Lima Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi pertama, pengawasan membahas fungsi informasi dan penyediaan berita. Saat kita menyalakan radio untuk mencari cuaca terkini, laporan lalu lintas, atau harga saham, kita menggunakan media terutama untuk fungsi pengawasannya. Pada hari Senin, 19 Oktober 1987, bursa saham menciptakan rekor penurunan 508 poin. Jutaan orang Amerika menyalakan radio dan televisi mereka untuk mendapat informasi mengenai kejatuhan bursa saham. Pada hari itu di tiap kantor besar Amerika, pegawai "tertempel" di radio mereka untuk menemukan seberapa banyak saham perusahaan mereka telah turun. Individu yang tidak memiliki saham membaca laporan mendalam di surat kabar lokal mengenai pengaruh potensial dari kehancuran bursa saham terhadap ekonomi Amerika dan dunia.
Fungsi kedua, korelasi membahas bagaimana media massa memilih, menginterpretasi, dan mengkritisi informasi tentang lingkungan. Editorial dalam radio dan televisi dan kampanye persuasif yang menggunakan media adalah contoh utama dari fungsi korelasi. "USA for America," "Live Aid," "Farm Aid," dan "Hand Across America" adalah kampanye yang asal muasal dan kemampuan menggalang dananya distimulasi dan dikembangkan melalui koneksi dengan media. Sumbangan dana untuk membantu orang-orang yang kelaparan di Ethiopia sebagian besar distimulasi oleh gambar mengerikan yang datang ke rumah kita melalui televisi. Banyak kritik politik mengatakan bahwa media, dan bukannya masyarakat Amerika, adalah yang memilih siapa yang akan menjadi politikus atau pemimpin politik kita. Mereka menuding banyaknya ulasan media dan informasi terhadap kampanye dini Gary Hart sebagai sebuah contoh fungsi korelasi media. Jika media tidak begitu mengekspos kehidupan pribadi Senator hart, mungkin kampanye presidensialnya tahun 1988 tidak akan keluar dari jalurnya. Bersama dengan kritik dan pemilihan kejadian, fungsi korelasi dari media juga memberikan gelar pada individu terpilih. Media massa memilih untuk menyoroti sejumlah individu yang kemudian menjadi "agung" di mata audiens. Saat media memilih seseorang untuk disorot, dikejar, dan diadvokasi, maka orang ini muncul sebagai seorang pemimpin opini. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa pemimpin opini mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan perilaku kita (lihat terutama Katz & Lazarsfeld, 1955; Rogers & Shoemaker; 1971).
Fungsi ketiga, transmisi kultural, merujuk kepada kemampuan media untuk mengkomunikasikan norma, peraturan, dan nilai dari sebuah masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat ditransmisikan dari sebuah generasi ke generasi lain, atau dari masyarakat ke pendatangnya. Transmisi kultural adalah sebuah fungsi pengajaran dari media, yang membawa banyak model peran sosial ke rumah. Model peran tersebut seringkali terlibat dalam perilaku yang dipandang sesuai dalam sebuah masyarakatn (perilaku prososial). Jognston dan Ettema (1986) menyadur acara seperti Mister Roger's Neghborhood, Sesame Street dan ABC After School Specials sebagai contoh prigram anak yang berusaha mengajarkan atau mempromosikan perilaku prososial seperti bersikap sopan, tidak mudah marah, mengatasi situasi baru, menyelesaikan tugas, peduli, dan bekerjasama. Acara televisi prime-time seperti Family Ties dan Bill Cosby Show telah disebut sebagai program yang mempromosikan nilai seperti menghormati otoritas, keharmoniasn keluarga, dan etika kerja orang Amerika. Seiring orang Amerika umumnya kemudian semakin sering menonton televisi, perbedaan regional dan subkultural menjadi menurun. Transmisi kultural yang kuat dari media mengenai pesan "umum" telah menyebabkan kita berbicara, berpikir, dan berpakaian secara serupa. Pesan umum dan menyatukan tersebut telah lebih jauh lagi "menghomogenkan" budaya Amerika dengan mendikte cara "yang seharusnya" kita bagaimana bertindak.
Fungsi keempat dari komunikasi massa, hiburan, mungkin adalah fungsi yang paling berpengaruh. Hiburan adalah "Semua aktivitas yang dirancang untuk mennyenangkan dan, sampai pada tingkat paling kecil, mencerahkan melalui pertunjukan keberuntungan atau kemalangan orang lain, [dan] melalui penampilan kemampuan khusus oleh orang lain atau/dan diri sendiri" (zillmann & Bryantm 1986, h. 303). Komunikasi massa membantu mengisi waktu senggang kita dengan menyuguhkan kepada kita pesan berisi komedi, drama, tragedi, sandiwara, dan pertunjukan kemampuan. Fungsi hiburan komunikasi massa membuat kita mampu lepas dari masalah dan kepentingan sehari-hari kita. Media memperkenalkan kepada kita aspek kebudayaan, seni, musik, dan tari yang mungkin tidak secara siap tersedia untuk kita. Saat menyuguhkan pertandingan olahraga media massa dapat menstimulasi kesenangan pada individu. Media juga dapat menenangkan kita dengan penyiaran komedi atau acara kebudayaan. Ia dapat membuat kita nyaman atau membantu kita menghindari ketidaknyamanan (Zillmann, 1982; Zillmann & Bryant, 1985). Fungsi hiburan dari komunikasi massa memberikan jalan keluar dari kebosanan, menstimulasi emosi kita, mengisi waktu luang kita, menemani kita, dan menunjukkan kepada kita gambar-gambar, pengalaman, atau kejadian yang tidak dapat kita hadiri secara langsung. Walaupun fungsi hiburan media telah sering dikritisi, pemikiran masa kini dari cendekiawan komunikasi massa mempersilahkan konsekuensi fungsi dari media hiburan. Memang, Zillmann dan Bryant (1986) mendefinisikan ulang konsep escapism sebagai "sukses rekreasional" (h. 321). Namun terdapat banyak kritik yang terus menerus menyatakan bahwa media dan pesannya merendahkan selera, dan mereduksi seni murni menjadi pop art.
Fungsi kelima McQuail (1987) bagi komunikasi massa, mobilisasi, merujuk kepada kemampuan media untuk mempromosikan kepentingan nasional dan perilaku tertentu terutama pada masa krisis nasional. Sementara fungsi mobilisasi ini mungkin bersifat penting dalam mengembangkan bangsa dan masyarakat, ia dapat terjadi di mana saja. Kita telah melihat buktinya di Amerika Serikat pada masa setelah pembunuhan Presiden John F. Kennedy, atau saat meledaknya pesawat ulang alik Challenger, di mana fungsi sentral media tidaklah hanya untuk menginformasikan kepada kita, tetapi juga untuk menasehati, menguatkan, dan mempersatukan kita bersama.

Teori Agenda-Setting dari Komunikasi Massa
Sejumlah cendekiawan mendeskripsikan agenda-setting sebagai sebuah fungsi komunikasi massa (contoh, McCombs & Shaw, 1972; Severin & Tankard, 1988). Yang lain merujuk kepada agenda-setting sebagai sebuah teori (contoh, Wimmer & Dominick, 1987), sementara massa terkecil cendekiawan komunikasi merujuknya sebagai sebuah himotesis (MCQuail, 1987). Apapun anggapan mengenai agenda-setting, konsep tersebut telah menerima perhatian yang cukup banyak dari pembuat teori komunikasi massa. Contohnya, akan kami jabarkan di sini. Agenda-setting mendeskripsikan sebuah pengaruh yang sangat kuat dari media, kemampuan untuk memberitahu kita masalah apakah yang penting. Masalah-masalah atau individu yang dipilih untuk dipublikasi tersebut akhirnya menjadi masalah atau individu yang kita pikirkan dan obrolkan. Menurut teori ini, topik, masalah, dan individu yang kita pikir penting sebenarnya menjadi penting karena perhatian media yang mereka dapat. Sebagai contoh, jika media memilih untuk menyoroti sebuah peristiwa tertentu seperti kehancuran bursa saham di akhir 1987, maka bursa saham menjadi sebuah masalah penting bagi kita, tidak peduli tingkat perhatian kita terhadapnya sebelum mendapat perhatian media. Tak lama setelah perhatian media kepada masalah tersebut, buku yang membahas bursa saham mulai terjual laris di seluruh penjuru negeri. Tiba-tiba, masyarakat tertarik untuk mengetahu apakah "margin call" itu. Beberapa entertainer segera menggunakan lawakan dan cerita tentang keruntuhan bursa saham dalam penampilan mereka. Agenda-setting telah menjadi subyek perhatian dari analis media dan kritikus untuk beberapa tahun. Pada tahun 1922, kolumnis surat kabar Walter Lippman menyatakan bahwa media membantu meletakkan "gambaran dalam benak kita" (Wimmer & Dominick, 1987, h. 385). Namun, sebuah studi oleh McCombs dan Shaw (1972) adalah yang menstimulasi rombongan penyelidikan empiris tentang fungsi agenda-setting dari media massa.
Menyelidiki fungsi agenda-setting dari media massa pada kampanye presidensial di tahun 1968, McCombs dan Shaw (1972) mencoba menemukan hubungan antara apa yang menjadi masalah penting menurut pemilih di sebuah komunitas, dengan konten aktual dari pesan media yang digunakan selama kampanye. Menggunakan teknik wawancara, peneliti menyimpulkan bahwa media massa memiliki pengaruh dominan pada apa yang dianggap pemilih sebagai masalah utama dari kampanye. Wimmer dan Dominick (1987) melaporkan bahwa pada tahun-tahun terakhir, agenda-setting makin mendapat perhatian dari para pembuat teori komunikasi massa. Sebagai tambahan, fokus dari penelitian ini adalah memperluas dari perhatian terhadap kampanye politik menuju masalah-masalah meliputi sejarah, periklanan, berita luar negeri, dan medis.
Banyak penelitian yang sebelumnya menyelidiki fungsi agenda-setting dari media ternyata menghasilkan sebuah teori agenda-setting (Williams, 1985). Memang, Williams berpendapat bahwa metode hipotetik-deduktif, sebuah asas tentang pendekatan kausalitas, adalah sebua metode yang digunakan untuk membangun sebuah Teori Agenda-Setting dari komunikas massa (lihat Bab 3 dan Apendiks untuk keterangan lebih lanjut mengenai metode hipotetik-deduktif). Sebaliknya, McQuail berpendapat bahwa, mengesampingkan penelitian terbaru pada agenda-setting, tidak terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan sebuah hubungan kausalitas antara tingkat pentingnya sebuah masalah yang diletakkan oleh media dan pentingnya masalah tersebut bagi publik. Ia berpendapat bahwa, setidaknya untuk sementara, Teori Agenda-Setting masih tetap "Berstatus ide yang masuk akal tapi belum terbukti" (McQuail, 1987, h. 276).

Sebuah Teori Komunikasi Interpersonal Termediasi
Beberapa pembuat teori komunikasi sekarang meniadakan pengaruh komunikasi massa terhadap komunikasi interpersonal, atau sebaliknya. Persatuan dari komunikasi massa dan interpersonal bukanlah sebuah fenomena baru. Seperti Katz dan Lazarsfeld (1955), peneliti lain telah menyadari peran individu dalam proses komunikasi massa. Cathcart dan Gumpert (1983) menyarankan bahwa media memainkan peran yang signifikan dalam pengembangan gambaran diri seseorang. Gambaran diri dipandang sebagian besar bergantung kepada media. Teori Komunikasi Interpersonal Termediasi mencoba mempersatukan penelitian komunikasi interpersonal dan komunikasi massa dalam pembangunan teori. Cathcart dan Gumpert berpendapat bahwa media tidaklah sinonim dengan komunikasi media. Komunikasi massa adalah "komunikasi yang relatif seketika melewati waktu dan ruang kepada kelompok yang besar dan heterogen" (Cathcart & Gumpert, 1986, h. 90).
Fokus penting dari teori ini terdiri dari penggunaan sosial dan personal yang dimiliki masyarakat dalam komunikasi massa. Cathcart dan Gumpert berpendapat bahwa istilah media tidak seharusnya dipisahkan dari bentuk komunikasi manusia lainnya seperti intrapersonal, interpersonal, kelompok, atau publik. Saat kita berbicara dengan seorang teman di telepon, kita mengunakan sebuah medium untuk membuat interaksi kita terlaksana. Saat kita berinteraksi dengan orang lain pada sebuah radio CB, kita menggunakan sebuah medium untuk memfasilitasi komunikasi interpersonal. Saat kita menggunakan sebuah modem dan komputer untuk masuk ke server seperti CumpuServe, tidakkah kita terlibat dalam komunikasi kelompok kecil termediasi? Cathcart dan Gumpert (1983) mengklaim: (1) Beberapa situasi komunikasi interpersonal membutuhkan media; (2) Bersama variabel-variabel lain yang kompleks, media mempengaruhi sikap dan perilaku; (3) Konten media mencerminkan perilaku interpersonal dan berisi proyeksi dari perilaku tersebut; dan (4) Perkembangan dari konsep diri seorang individu bergantung pada media (h. 268).

Media dan Penciptaan Gambaran Diri
Pada inti dari teori Carthcart dan Gumpert terdapat 2 premis. Yang pertama menyarankan bahwa media mengubah hubungan antar individu. Yang kedua dan mungkin yang paling penting, adala bahwa gambaran diri seseorang sebiagian besar bergantung pada media. Alasan Cathcart dan Gumpert adalah jika gambaran diri seorang individu dibentuk melalui interaksi interpersonal dan interaksi interpersonal berhubungan erat dengan media, maka pembuat teori komunikasi harus mencurahkan perhatian lebih kepada efek dari media terhadap gambaran diri. Semenjak masih kecil, kita mendengar atau melihat gambar yang diproyeksikan media sebagai sesuatu yang "sesuai," "standar," "normatif," atau "sempurna." Kita kemudian membandingkan gambaran tersebut dengan persepsi diri kita. Yang lebih sering terjadi, persepsi diri seorang individu tidak sebanding dengan gambaran media. Pembuat iklan telah belajar untuk mengasosiasikan produk dengan gambaran media mengenai kesempurnaan. Individu yang dilukiskan dalam iklan seringkali memiliki karakteristik yang diajarkan kepada kita untuk dihargai. Seperti yang dikatakan Cathcart dan Gumpert (1986), "Semakin mereka memproyeksikan sebuah gambar, semakin kita melihat diri kita di dalamnya. Semakin kita melihat diri kita di dalamnya, semakin kita berusaha menghasilkan sebuah konsep diri yang sama dengan gambar tersebut" (h. 97). Konsep diri tidak lagi bergantung kepada interaksi langsung, tapi amat dikendalikan oleh komunikasi termediasi. Fotografi, video musik, radio, gambar bergerak, dan televisi memainkan bagian signifikan dalam perkembangan dan maintenance dari gambaran diri seseorang. Cathcart dan Gumpert mengatakan bahwa cendekiawan komunikasi interpersonal seharusnya menggabungkan konsep gambaran termediasi ke dalam upaya pembangunan teori mereka.

Komunikasi Interpersonal Termediasi
Cathcart dan Gumpert menawarkan istilah "komunikasi interpersonal termediasi" untk merujuk kepada semua situasi yang menggunakan teknologi mediasi untuk menggantikan interaksi langsung." Percakapan melalui telepon, pertukaran kaset audio dan videotape, surat electronik, telekonferens termediasi antar individu atau kelompok, interaksi interpersonal melalui komputer den modem, t-shirt, dan stiker di bumper mobil adalah "media" yang kita gunakan untuk memfasilitasi interaksi interpersonal. Komunikasi interpersonai tersimulasi media merujuk kepada saat audiens merasa mereka mengenal secara personal orang yang melakukan penampilan, seperti mereka mengenal temannya. Perhatian konstan pada suara dan gerakan seorang aktor menggiring audiens untuk membuat penlaian personal tentang aktor tersebut seperti mereka membuat penilaian tentang teman mereka. Faktanya, banyak orang merasa mereka "mengenal" personel media favorit mereka lebih dari mereka mengenal temannya. Setelah berulang kali menonton David Letterman, sebagai contoh, kita mulai percaya bahwa kita sebenarnya "mengenal" dia, walaupun kita hanya mengalami ilusi dari sebuah hubungan interpersonal dengannya. Disc jockey atau pembawa acara televisi yang berkemampuan biasanya menggunakan perilaku komunikasi yang membantu membangun hubungan ini.
Salah satu bentuk komunikasi interpersonal termediasi yang menjembatani komunikasi interpersonal termediasi dan tersimulasi media adalah media telepartisipatori. Medium telepartisipatori paling familiar adalah program radio di mana penelepon dan pembawa acara berkomunikasi satu sama lain. Beberapa orang menelepon pembawa acara favoritnya setiap hari atau setiap minggu, dan bahkan menceritakan komunikasi tersebut dalam interaksi dengan teman-teman mereka sebenarnya (lihat Avery & Ellis, 1979). Layanan telepon kelompok seperti Talk-About adalah seperti sebuah pesta di mana seseorang dapat berkomunikasi dengan beberapa orang sekaligus. Dengan membayar, Anda dapat menelepon salah satu layanan seperti itu dan berkomunikasi dengan orang yang telah menelepon lebih dahulu. Surat kabar melaporkan bahwa beberapa orang remaja menggunakan layanan telepon tersebut terlalu sering sehingga orang tua mereka menerima tagihan sampai ribuan dolar setiap bulan. Popularitas dan penyalahgunaan pelayanan tersebut telah menstimulasi upaya mendesak FFC supaya meregulasinya. Sebuah studi yang dilakukan oleh tim penelitian mahasiswa pra-sarjana (scholder, Lalumia, & Murphy, 1987) menemukan bahwa banyak penelepon lebih memilih interaksi termediasi seperti ini daripada kontak interpersonal langsung. Penelitian oleh Avery dan McCain (1982) menemukan bahwa, untuk banyak individu, interaksi telepartisipatori termediasi menggantikan komunikasi interpersonal langsung.
Teori Cathcart dan Gumpert mengindikasikan bahwa tidak memperhatikan kemampuan mempengaruhi yang dimiliki media saat kita mengembangkan teori komunikasi manusia adalah suatu disfungsional. Pembuat teori harus menggabungkan konsep tentang media ke dalam upaya mereka membangun teori komunikasi intrapersonal, interpersonal, kelompok, dan publik.

Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Sebuah teori komunikasi massa yang diteliti secara lengkap, namun kontroversial, adalah Teori Kegunaan dan Gratifikasi. Beberapa pembuat teori komunikasi kontemporer berpendapat bahwa tubuh dari penelitian berlabel kegunaan dan gratifikasi "telah membuat kontribusi penting dalam pemahaman kita mengenai proses komunikasi massa" (Swanson, 1987, h. 237). Kritik terbaru telah menantang teori tersebut. Teori Kegunaan dan Gratifikasi mencoba menyelidiki mengapa masyarakat menggunakan media massa. Teori ini berusaha menjelaskan kegunaan dan fungsi media untuk individu, kelompok, dan masyarakat secara umum.
Rubin (1985) menyatakan bahwa Teori Kegunaan dan Gratifikasi berdasar pada sebuah "paradigma fungsional dari pengaruh sosial" (h. 202). Semenjak pendekatan fungsional menyelidiki hubungan antara media, individu, dan masyarakat, ia merepresentasikan perspektif sistem,  sebuah paradigma pembangunan teori yang dijelaskan dalam Bab 3. Rubin berpendapat bahwa komunikasi massa merepresentasikan sebuah sistem atau subsistem sosial dari  masyarakat. Sebuah kepercayaan dalam pendekatan sistem adalah bahwa sebuah perubahan dalam salah satu bagian sistem akan menyebabkan sebuah perubahan pada bagian lain dari sistem. Banyak klaim menyatakan VCR (video cassette recorder) rumahan telah mengubah pola menonton televisi. Sebagai contoh, sebuah konsekuensi dari merekap program televisi dalam videotape adalah banyak orang menekan fast forward pada bagian iklan. Fenomena ini telah menyebabkan pengiklan dan agensi periklanan memeriksa ulang peletakan dan format iklan yang ditampilkan dalam program.  Lima fungsi komunikasi massa yang dijelaskan sebelumnya mewakili fungsi dari konten media massa. Fungsi konten tersebut tidak secara lengkap mendeskripsikan bagaimana seorang audiens menggunakan konten tersebut. Analisis bagaimana seorang anggota audiens menggunakan media dijelaskan dengan paling baik dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi.

Asumsi Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Pada inti Teori Kegunaan dan Gratifikasi terletak asumsi bahwa anggota audiens secara aktif mencari media massa untuk memenuhi kebutuhan individualnya. Sebagai contoh, Rubin (1979)  menemukan 6 alasan mengapa anak-anak dan remaja menonton televisi: untuk pembelajaran, untuk mengisi waktu luang, untuk menemani dirinya, untuk melupakan atau melarikan diri, untuk kesenangan, dan untuk relaksasi. Menonton televisi untuk mengisi waktu luang dan kesenangan dan relaksasi muncul sebagai kegunaan paling penting dari televisi bagi partisipan Rubin. Asumsi lain dari Teori Kegunaan dan Gratifikasi adalah bahwa audiens menggunakan media untuk memenuhi harapan. Sebagai contoh, Anda mungkin menonton program science fiction seperti Star Trek: The Next Generation untuk membantu Anda membayangkan masa depan dan melarikan diri dari tekanan sehari-hari. Asumsi ketiga dari teori ini adalah audiens secara aktif memilih media dan kontennya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dua jenis pemirsa televisi telah teridentifikasi. Jenis pertama adalah pencari informasi yang menonton televisi untuk penggunaan ritualitas. Orang tersebut adalah seorang "pemirsa TV pada umumnya, yang menjunjung tinggi televisi" (Rubin, 1984, h. 68). Pemirsa ini menggunakan televisi sebagai sebuah pengalihan. Jenis pemirsa kedua adalah pencari hiburan-informasi yang menonton televisi untuk kegunaan instrumental. Orang tersebut memiliki kesukaan terhadap sebuah atau beberapa program televisi. ndividu ini menggunakan konten media umumnya sebagai informasi. Orang ini lebih selektif dan berorientasi tujuan saat menonton televisi dan tidak merasa televisi merupakan sesuatu yang penting. Rubin (1984) berpendapat bahwa penggunaan televisi ritualitas merepresentasikan pengalaman menonton yang lebih penting untuk anggota audiens, sementara penggunan televisi instrumental mewakili pengalaman keterlibatan bagi penonton.
Rubin (1979) merancang sebuah kuisioner yang disebut Instrumen Motif Menonton Televisi untuk menemukan alasan mengapa masyarakat menonton televisi. Kerjakan survei pada Bagan 11.1 untuk mengetahui alasan utama Anda menonton TV.
Asumsi keempat dari Teori Kegunaan dan Gratifikasi adalah anggota audiens sadar dan dapat mengatakan motif mereka dalam menggunakan komunikasi massa. Studi yang menyelidiki bagaimana individu menggunakan media untuk gratifikasi umumnya menggunakan pengukuran laporan diri, kuisioner yang meminta partisipan untuk memberitahu motif mereka menggunakan media massa. Instrumen Motif Menonton Televisi adalah salah satu kuisioner seperti itu. Asumsi kelima dan terakhir dari teori ini adalah motif tersembunyi dan gratifikasi penggunaan media harus lebih dipahami sebelum dilakukan upaya untuk menyelidiki signifikansi kultural pada konten media (Katz, Blumler, & Gurevitch, 1974; Rubin, 1985, 1986). Sebelum kita berusaha menentukan hasil positif dan negatif media terhadap masyarakat, ktia harus lebih mempelajari penggunaan media oleh masyarakat dan bagaimana penggunaan media menggratifikasi kebutuhan individual.

Tujuan Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Pembuat teori komunikasi memiliki 3 tujuan dalam mengembangkan penelitian kegunaan dan gratifikasi. Pertama, mereka berharap dapat menjelaskan bagaimana individu menggunakan komunikasi massa untuk menggratifikasi kebutuhannya. Mereka berusaha menjawab pertanyaan: Apa yang dilakukan masyarakat dengan media (Rubin, 1985)? Tujuan kedua adalah untuk menemukan motif tersembunyi dari penggunaan media seorang individu. Mengapa seseorang terburu-buru kembali ke rumah (atau terjaga hingga larut malam) untuk menonton berita lokal di televisi sementara orang lain lebih memilih membaca surat kabar saat sarapan atau setelah makan malam? Mengapa beberapa orang hanya menonton film dari saluran HBO? Itulah contoh beberapa pertanyaan yang dicoba dijawab oleh pemeluk Teori Kegunaan dan Gratifikasi dalam penelitian mereka. Tujuan ketiga dari pembangunan teori ini adalah untuk mengidentifikasikan konsekuensi positif dan negatif dari penggunaan media seorang individu. Untuk tujuan ketiga inilah muncul aspek sistem dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi. Pendekatan sistem bagi pembangunan teori komunikasi berusaha mengidentifikasikan hubungan antara sistem dan subsistemnya. Dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi, diselidiki hubungan antara individu dan media massa, konten media, sistem sosial, saluran alternatif komunikasi (seperti teman), dan konsekuensi pilihan media.

Sejarah Perkembangan Penelitian Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Upaya untuk menemukan pola penggunaan media telah ada setidaknya hampir 50 tahun. Pada tahun 1940, peneliti mulai mengeksplorasi pola pendengar radio melalui perspektif kegunaan dan gratifikasi (contoh, Lazarsfeld, 1940). Penelitian awal teori ini menyelidi beragam topik mulai dari penggunaan komik oleh anak-anak sampai bagaimana rasanya tidak terdapat surat kabar ketika terjadi pemogokan surat kabar. Studi awal tersebut menggunakan pertanyaan terbuka dalam survei dan dalam wawancara personal untuk mengeksplorasi penggunaan media massa. Teknik penelitian kuantitatif digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Peneliti awal umumnya mengacuhkan hubungan antara kebutuhan psikologis dan motif penggunaan media (Rubin, 1985). Pada tahun 1960an dan awal 1970an peneliti menggarisbawahi penggunaan televisi dibanding radio atau media cetak. Minat bersar terhadap faktor psikologis dalam penggunaan media juga muncul pada periode ini. Akhirnya, ketergantungan pada teknik pengumpulan data dan analisis kuantitatif juga nampak (McQuail, 1984).
McQuail (1984) dan Rubin (1986) menyarankan bahwa upaya penelitian sekarang dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi dapat diglongkan dalam beberapa kelompok besar. Pertama, banyak studi telah mengeksplorasi bagaimana anak-anak menggunakan media. Sebuah pendekatan kegunaan dan gratifikasi untuk memahami komunikasi politik telah muncul. Barisan perolehan ketiga telah mengeksplorasi karakteristik dari pengalaman audiens, interpretasi audiens dan aktivitas audiens. Beberapa studi menyelidiki penggunaan pencarian informasi dari media. Memahami motif audiens dari penggunaan media telah menstimulasi banyak penelitian. Barisan peneliti lain memeriksa kondisi sosial dan psikologis dari penggunaan media. Studi-studi tersebut mempelajari bagaimana faktor seperti pandangan keluarga, lingkungan, personaliti, interaksi interpersonal, dan aktivitas sosial mempengaruhi konsumsi media. Pada akhirnya, upaya peneliti yang bertujuan pada pengembangan teori dan membuat model proses kegunaan dan gratifikasi sekarang sedang dalam pembangunan (McQuail, 1984).

Contoh Penelitian Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Salah satu kepercayaan dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi adalah audiens bersikap aktif bukannya pasit terhadap penggunaan media mereka. Individu memilih secara aktif media komunikasi yang mereka hadiri. Levy dan Windahl (1984) mengidentifikasikan 3 jenis aktivitas audiens. Jenis aktivitas pertama, disebut preaktivitas, dilakukan oleh individu yang dengan mandiri mencari media tertentu untuk memuaskan kebutuhan intelektual mereka. Sebagai contoh, penonton tertentu dengan mandiri memilih liputan berita untuk gratifikasi tersebut. Jenis aktivitas audiens kedua disebut duraktivitas, berurusan dengan tingkat perhatian psikologis atau keterlibatan anggota audiens dalam sebuah pengalaman menonton televisi. Jenis aktivitas ini dapat dipahami dengan baik dari orientasi konstruktivis (lihat Teori Konstruksi Pesonal, Bab 3). Fokus dari aktivitas ini adalah pada memperkirakan bagaimana invidiu menginterpretasi dan memahami pesan termediasi. Komprehensi, pengorganisaian, dan struktur pesan media menuntun kepada gratifikasi intelektual dan emosional tertentu bagi penonton. Mencoba menebak plot atau akhir dari sebuah program drama di televisi adalah salah satu contoh penggunaan duraktivitas media. Jenis aktivitas audiens ketiga, postaktivitas, membahas perilaku audiens dan penggunaan pesan setelah terkena terpaan pesan termediasi. Orang-orang yang terlibat dalam postaktivitas mengikuti sebuah pesan termediasi karena mereka merasa informasi tersebut mungkin memiliki nilai personal atau interpersonal. Individu yang secara aktif mencari berita televisi sebagai konten untuk komunikasi interpersonal seperti "pembicaraan kecil" telah menunjukkan perilaku postaktivitas audiens.
Dalam sebuah studi tentang pengguna televisi Swedia, Levy dan Windahl (1984) menemukan bahwa orang yang menonton berita TV bervariasi pada tingkat apakah mereka dapat digolongkan sebagai pengguna aktif. Hasil dari studi ini mendukung asumsi audiens aktif. Partisipan mampu mendeskripsikan bagaimana media tertentu memenuhi kebutuhan tertentu. Peneliti juga menemukan bahwa motivasi utama menonton berita TV adalah untuk mendapat informasi tentang dunia, bukannya sebagai pengalihan.
Rubin (1983) merancang sebuah studi untuk mengeksplorasi motivasi, perilaku, sikap, dan pola interaksi penonton dewasa. Studi tersebut juga berusaha mengeksplorasi apakah motivasi pengguna TV dapat memprediksi konsekuensi perilaku dan sikap dari penggunaan televisi. Lima motivasi utama menonton televisi diselidiki: menghabiskan waktu luang/kebiasaan, informasi, hiburan, pertemanan dan pelarian. Hubungan motivasi menonton televisi terkuat ditemukan antara menghabiskan waktu luang dengan pertemanan dan pelarian. Nampaknya orang-orang menonton televisi sebagai sebuah mekanisme pelarian dan untuk menemani dirinya. Mereka melakukan hal tersebut untuk menghabiskan waktu luang atau hanya sebagai sebuah kebiasaan. Dua jenis penonton juga terdefinisikan dalam studi ini. Jenis pertama menonton TV untuk menghabiskan waktu dan merupakan kebiasaan. Jenis kedua menonton TV untuk mencari informasi atau sebagai alat pembelajaran. Jenis penonton tersebut konsisten dengan pengguna televisi ritualitas dan instrumental dari Ruben yang telah didiskuikan sebelumnya.
Jenis Penggunaan Media sebagai Gaya Hidup. Sebuah studi ditujukan kepada beberapa faktor sosial dan psikologi yang diasosiasikan dengan pola penggunaan media dari audiens. Donohew, Palmgreen, dan Rayburn (1987) menguji sebuah sampel acak dari orang yang berlangganan televisi kabel. Melalui telepon dan kuisioner surat, mereka mengumpulkan data demografis (umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, status perkawinan), gaya hidup, dan sikap. Partisipan juga menyediakan informasi tentang perilaku sosial, politik, ekonomi, budaya, dan komunikasi mereka. Peneliti juga bertanya tentang kebutuhan stimulasi, gratifikasi yang dicari dari TV kabel, kepuasan terhadap tawaran TV kabel, lama menonton TV kabel tiap hari, dan jumlah surat kabar dan majalah langganan. Empat jenis gaya hidup muncul. Jenis I dilabeli Pengurus Rumah yang Tidak Terlibat. Individu ini umumnya wanita, paruh baya, rendah dalam pendidikan dan pendapatan. Anggota jenis ini memiliki kebutuhan terhadap stimulasi yang paling rendah. Mereka tidak menggunakan media untuk tujuan informasi, tetapi untuk menemaninya dan menghabiskan waktu. Menurut klasifikasi Ruben (1983, 1984), mereka nampaknya mewakili pengguna media ritualitas. Jenis individu kedua dilabeli Aktivis yang Sering Bepergian. Secara demografis, orang ini wanita (tapi tidak sebanyak Jenis I), lebih muda, berpendidikan, memiliki pendapatan yang cukup, dan tidak terlalu suka menikah. Aktivis yang sering bepergian ini memiliki kebutuhan stimulasi yang paling tinggi di antara 4 jenis. Mereka suka mendapat informasi dan biasanya pengguna media cetak. Mereka tidak menonton televisi terlalu lama dan paling sedikit tergratifikasi oleh TV kabel. Donohew, Palmgreen dan Rayburn berspekulasi bahwa gaya hidup aktif dari Jenis II membuat mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk menonton TV. Jenis individu ketiga adalah Aktivis yang Tertahan. Individu ini lebih tua dan memiliki tingkat pendidikan yang tertinggi. Lebih dari setengahnya merupakan wanita, dan mereka seringkali sudah menikah dan memiliki pendapatan yang tinggi. Mereka memiliki kebutuhan terhadap sensasi yang rendah namun kebutuhan stimulasi intelektual yang tinggi. Mereka menunjukkan kebutuhan informasi yang tinggi dan memandang dirinya sebagai pemimpin opini. Mereka adalah pengguna berat media cetak dan televisi, terutama untuk tujuan informasi. Pola penggunaan media mereka mengikuti pengguna instrumental Rubin (1983, 1984). Jenis pengguna terakhir yang teridentifikasi disebut sebagai Pendaki Kelas Pekerja. Orang ini sebagian besar pria, rendah dalam pendidikan dan pendapatan, dan paruh baya. Kebanyakan telah menikah. Donohew, Palmgreen, dan Rayburn (1987) mengatakan bahwa orang ini "kebanyakan dicirikan sebagai pria chauvinistic dari kelas pekerja kerah biru atau kerah putih tingkat rendah" (h. 270). Pendaki Kelas Pekerja bersifat ambisius dan percaya diri. Mereka tidak terlibat dalam gaya hidup aktivis. Mereka memiliki kebutuhan stimulus intelektual yang rendah. Mereka adalah yang tertinggi dalam keterpaan televisi dan kepuasan dengan TV kabel. Mereka cukup rendah dalam penggunaan media cetak. Menurut taksonomi Rubin, mereka akan diklasifikasikan lebih mendekati pengguna media ritualitas daripada instrumental. Hasil dari studi ini membantu menjelaskan pemahaman kita tentang banyak variabel gaya hidup yang mempengaruhi penggunaan media massa. Sebagai tambahan, studi menambahkan dukungan terhadap teori pola penggunaan ritualitas dan instrumental dari Rubin.

Kritik bagi Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Semenjak pemunculannya, Teori Kegunaan dan Gratifikasi telah mendapat popularitas luas di antara pembuat teori, peneliti, dan praktisi komunikasi massa. Teori tersebut juga menerima berbagai kritik. Blumler (1979) dan Windahl (1981) memberikan kritik kuat saat mereka menyarankan kegunaan dan gratifikasi tidak merepresentasikan sebuah teori pun. Kritik tersebut menyebut kegunaan dan gratifikasi adalah sebuah payung konsep yang di dalamnya terdapat beberapa teori. McQuail (1984) berpendapat bahwa tidak adanya sebuah teori pemersatu telah menuntun kepada penyalahgunaan metode perolehan empiris. Tujuan sosial dan politis juga telah muncul karena Teori Kegunaan dan Gratifikasi. Dasar teori dalam paradigma fungsional telah ditantang. Mc Quails berpendapat bahwa fungsionalisme telah memaksa seorang peneliti untuk menggunakan model konservatif dari sistem sosial. Pandangan konservatif ini juga meningkatkan kemungkinan media massa akan digunakan untuk memanipulasi masyarakat. Terdapat pendapat bahwa manipulator media akan segera bergerak dari pengetahuan "mengapa masyarakat menyukai apa yang mereka dapat" menjadi "masyarakat mendapat apa yang mereka suka" (McQuail, 1984, h. 184). Ini akan mereduksi penggunaan pengetahuan baru tentang ketergantungan media yang ditemukan melalui banyak upaya penelitian tersebut. Rubin (1985) menyatakan penelitian motif audiens kegunaan dan gratifikasi telah terlalu dikotak-kotakkan dalam budaya atau kelompok demografis tertentu. Ini telah menggagalkan sintesis dan integrasi hasil penelitian, aktivitas yang penting bagi pembangunan teori. Ia juga berpendapat bahwa terdapat terlalu banyak makna berbeda yang diasosiasikan dengan istilah "motif audiens," "kegunaan," dan "gratifikasi," sehingga telah memperlambat pemersatuan perkembangan teoritis pada bidang ini. Pada akhirnya, Teori Kegunaan dan Gratifikasi dan penelitiannya telah dikritik pada dasar metodologisnya. Kuisioner laporan diri biasanya digunakan dalam studi kegunaan dan gratifikasi. Seperti penyelidikan komunikasi lainnya, reliabilitas dan validitas data laporan diri selalu dipertanyakan. Sebagai contoh, beberapa kritikus percaya bahwa individu tidak dapat merespon secara akurat pada pertanyaan tentang perasaan dan perilaku mereka sendiri. Namun kritik ini telah dibantah melalui penggunaan instrumen yang telah dinilai reliabel dan valid secara a priori (lihat Apendiks untuk diskusi mengenai reliabilitas dan validitas).


Pendekatan Aturan dalam Komunikasi Massa
Lull (1980a, 1980b, 1982) telah menggunakan pendekatan aturan untuk menyelidiki penggunaan media dan aktivitas komunikasi interpersonal di dalam rumah. Lull dan yang lainnya (contoh, Fry & McCain, 1980; Wolf, Meyer, & White, 1982) berpendapat bahwa paradigma aturan komunikasi memberikan sebuah jalan untuk memecahkan masalah tentang pembangunan teori dalam komunikasi massa.

Model Berdasarkan Aturan dan Aktivitas Media
Lull menyatakan bahwa faktor kehendak bebas manusia, pilihan, waktu, dan beragam konteks komunikasi membuat sulitnya pengukuran dan perkiraan aktivitas media masyarakat. Model tradisional berdasarkan aturan telah berguna untuk memandu upaya pembangunan teori dalam memahami kebiasaan audiens konsumer dan aktivitas politis, tetapi model sebab dan efek dan teknik pengukuran kuantitatif dari pendekatan berdasarkan aturan memiliki kemampuan terbatas untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku interaksi kompleks yang berhubungan dengan media seperti pola menonton televisi dalam keluarga. Sedangkan pada konteks lain, perspektif aturan telah muncul sebagai sebuah paradigma alternatif untuk memandu cendekiawan komunikasi massa dalam upaya pembangunan teori mereka. Cendekiawan-cendekiawan tersebut berpendapat bahwa aturan komunikasi tidak hanya terdapat dalam interaksi langsung (face-to-face) tetapi juga antar bagian dari sebuah sistem simbol termediasi. Ingat kembali diskusi awal kita pada Bab 3 bahwa aturan komunikasi dapat beragam mulai dari aturan khusus yang dibuat oleh 2 orang atau sebuah unit keluarga sampai aturan umum yang dianggap pantas dan normatif bagi keseluruhan sebuah kebudayaan atau masyakat.

Teori dari Lull tentang Media Massa dan Perilaku Audiens Berdasarkan Aturan
Perspektif aturan memandang penggunaan komunikasi massa sebagai sebuah aktivitas pemilihan interaktif. Paradigma ini merepresentasikan sebuah alternatif bagi penjelasan probabilitas, sebab dan akibat, yang berdasarkan aturan untuk aktivitas komunikasi yang berhubungan dengan media. Lull (1982) menyatakan bahwa pendekatan aturan dalam komunikasi dapat diaplikasikan secara menguntungkan untuk mempelajari masalah seperti efek televisi pada anak-anak, kegunaan dan gratifikasii, fungsi agenda-setting dari media, dan cara masyarakat mengkonstruksi waktu senggang mereka. Aturan aktivitas komunikasi massa dapat dipelajari baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro, kita akan mempelajari bagaimana unit audiens yang kecil seperti keluarga menggunakan media. Dalam konteks ini, pembuat teori komunikasi massa akan mempelajari hubungan anggota audiens satu dengan yang lain saat mereka menonton televisi, mendengarkan siaran radio, atau mengikuti bentuk lain media massa. Pada tingkat makro, kita dapat mempelajari perilaku seluruh masyarakat atau kebudayaan yang diasosiasikan dengan penggunaan media. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memeriksa konten media sebuah budaya. Siaran radio dan TV dapat dipelajari untuk menentukan tema dominan dari pesan media dalam budaya tersebut.

Aturan Menonton TV Keluarga
Banyak dari kita ingat akan aturan dalam keluarga kita tentang perilaku menonton televisi yang sesuai. Sebagai contohnya adalah seberapa lama Anda diperbolehkan menonton TV setiap hari, apa jenis program yang boleh Anda tonton, anggota keluarga mana yang memilih tayangan mana yang akan ditonton keluarga, dan perilaku apa yang dapat (atau tidak dapat) Anda lakukan selama jam menonton keluarga. Salah satu penulis ingat dengan jelas bahwa berteriak ke saudaranya tidak diperbolehkan selama jam menonton TV keluarga. Jika Anda terlibat dalam "pelanggaran aturan berperilaku" tersebut, Anda akan dimarahi oleh orang tua. Dalam beberapa keluarga, atura penggunaan media keluarga dengan jelas diutarakan untuk kita. Berapa kali Anda ingat contoh perilaku media berdasarkan aturan seperti "Tidak boleh menonton TV setelah pukul 10 malam," atau "Tidak boleh menonton TV sampai PR-mu selesai!" Aturan lain tidak diutarakan secara eksplisit tetapi tetap jelas bagi kita. Beberapa peraturan "dipelajari" melalui mengamati perilaku anggota keluarga. Salah satu aturan komunikasi yang berhubungan dengan menonton TV dan kita pelajari melalui observasi adalah,"Saat menonton TV dengan anggota keluarga, tidak boleh mengganti saluran sebelum meminta ijin terlebih dahulu."
Lull (1982) mengidentifikasi 3 kelas aturan perilaku menonton televisi dalam keluarga. Aturan kebiasaan adalah aturan yang biasanya tidak dapat dinegisoasikan, seringkali dicanangkan oleh mereka yang memiliki otoritas, dan memiliki konsekuensi negatif (hukuman) jika dilanggar. Aturan kebiasan biasanya membahas tentang jumlah, lama, atau konten menonton TV yang diperbolehkan dalam sebuah keluarga.
Aturan parametris digunakan untuk mendeskripsikan pola tindakan yang dianggap sesuai dalam batasan yang disetujui bersama. Aturan parametris tersebut seringkali, tapi tidak selalu, dinyatakan secara verbal. Seperti aturan kebiasaan, aturan parametris biasanya didikte oleh seorang sosok otoritas dalam keluarga. Perbedaan utama antara aturan kebiasaan dan parabetris adalah aturan parametris masih dapat dinegosiasikan. Dengan kata lain, aturan parametris memberikan kita kesempatan untuk memilih dari serangkaian perilaku yang dapat diterima. Lull menyatakan negosiasi pemilihan program TV atau waktu menonton TV sebagai contoh aturan parametris dari perilaku keluarga yang berhubungan dengan TV. Contohnya, sebuah keluarga mungkin menyukai program informasi yang dirancang untuk mendidik kemampuan akademik atau sosial anak-anak. Jika sebuah program dengan sifat ini ditayangkan di televisi pada suatu sore, seorang anak dapat bernegosiasi sehingga seluruh keluarga akan menonton program itu. "Boleh bicara hanya selama iklan" adalah contoh lain aturan parametris yang mempengaruhi perilaku menonton televisi keluarga. Lull menyatakan bahwa perbedaan utama antara aturan kebiasaan dan parametris dari menonton TV terletak pada tingkat sejauh mana aturan dapat dinegosiasikan. Dengan aturan kebiasaan, orang tua dan saudara yang lebih tua dapat mencangkan aturan yang tidak dapat dinegosiasikan. Aturan parametris lebih dapat dinegosiasikan.
Jenis aturan ketiga diidentifikasikan Lull dengan istilah peraturan taktis. Peraturan ini digunakan untuk mencapai beberapa tujuan personal atau interpersonal. Aturan taktis diciptakan oleh individu, kelompok, atau budaya umumnya untuk menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan. Pemikiran Cushman dan Paerce (1977) tentang silogisme pratikal  yang berdasarkan aturan dapat digunakan untuk memberikan sebuah contoh bagi aturan taktis. Apa yang nampanya seperti aktivitas pemilihan yang melibatkan televisi sebenarnya merupakan aktivitas memupuk hubungan yang harmonis. Sebagai contoh, Terry ingin mempertahankan keharmonisan pernikahan dengan pasangannya, Pat. Untuk melakukannya, Terry berniat "mengalah" pada kegiatan menonton televisi sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga, Terry mengganti saluran ke acara favorit Pat (Lull, 1982, h. 9). Dalam bentuk silogisme praktikal, jika Terry ingin membuat Pat senang, Terry aan memilih untuk "mengalah" dan membiarkan Pat menonton acara favoritnya. Keluarga juga menggunakan televisi untuk tujuan sosial lainnya. Beberapa anggota keluarga menyalakan televisi untuk menarik diri dari konflik keluarga. Keluarga lain menggunakan kegiatan menonton televisi sebagai sebuah hadiah ataupun hukuman. Keluarga jenis ini cenderung mengembangkan "aturan kontrol sosial" di mana orang tua terbiasa mengontrol kebiasaan menonton anak mereka. Aturan taktikal seperti itu menyatakan bahwa penggunaan televisi adalah sebuah bentuk regulasi perilaku. Dua contoh aturan kontrol sosial yang dideskripsikan Fry dan McCain (1980) adalah: "Saat aku ingin menghadiahi anakku karena melakukan sesuatu yang terpuji, aku sering membiarkannya menonton televisi lebih lama," dan :Saat anakku nakal, aku melarangnya menonton televisi sebagai hukuman."

Penggunaan Relasi bagi Televisi: Sebuah Studi Kuantitatif
Wolf, Meyer dan White (1982) mengadakan sebuah studi kuantitatif untuk mengidentifikasi perilaku media berdasarkan aturan pada sebuah pasangan. Peneliti mempelajari bagaimana sebuah pasangan, Bob dan Carolyn, menggunakan media untuk mengkonstruksi dan menstruktur realitas sosial mereka. Dalam periode 2 tahun peneliti mengobservasi, wawancara dan sampel rekaman dari percakapan pasangan tersebut. Studi menemukan bahwa pasangan ini menggunakan konten media untuk 4 tujuan sosial: memfasilitasi komunikasi, berhubungan/penghindaran, pembelajaran sosial, dan kompetensi/dominasi. Konten televisi membantu pasangan menciptakan topik pembicaraan atau mengingatkan mereka akan perasaan dan pengalaman yang mereka nyatakan satu sama lain atau kepada teman. Penggunaan tersebut merepresentasikan fungsi media konten untuk memfasilitasi komunikasi. Konten televisi seringkali menciptakan kesamaan bagi masyarakat, mengurangi kegelisahan, menjelaskan nilai, dan "mengatur agenda" untuk pembicaraan. Pasangan tersebut juga menggunakan konten media untuk berhubungan dan/atau penghindaran. Menonton drama yang menyentuh hati biasanya membuat sebuah pasangan menjadi lebih dekat, karena ia menstimulasi pasangan untuk membuka perasaan, kebutuhan dan keinginan. Menonton televisi juga dapat digunakan sebagai penghindaran. Sebuah pasangan dapat "mendiamkan pasangannya" dengan menyalakan televisi. Kegunaan televisi yang ketiga adalah untuk pembelajaran sosial. Beberapa orang menonton acara televisi seperti Jeopardy! sebagai sebuah cara belajar tentang sejarah, geografi, literatur dan seni. Keempat, konten media dapat digunakan untuk menunjukkan kompetensi atau dominasi. Menonton iklan televisi mendorong Bob dan Carolyn untuk menantang klaim sponsornya. Dengan cara ini, pengetahuan dan kompetensi ditunjukkan. Perilaku sesuai-peran tertentu (seperti "penyedia" atau "pelindung") menjadi jelas melalui gambar termediasi televisi. Gambar-gambar tersebut membantu mengingatkan masyarakat tentang situasi di mana mereka harus bertindak sesuai dengan perannya. Sebagai contoh, sebuah program televisi menjelaskan bagaimana seorang suami yang mencintai, perhatian, dan mendukung istrinya selama masa kehamilan sang istri. Menonton program ini dapat membantu mengukuhkan perilaku sesuai-peran bagi pria yang istrinya sedang hamil.
Sebagai pelajar komunikasi, Anda dapat bersikap seperti peneliti untuk menyelidiki aturan aktivitas media keluarga. Anda dapat mencoba mencari pola aktivitas media berdasarkan aturan jika Anda tahu apa yang harus diobservasi dan pertanyaan apa yang harus ditanyakan. Mencatat frekuensi pola perilaku yang terjadi adalah salah satu cara untuk mengidentifikasi aturan komunikasi. Siapakah yang pertama menyalakan televisi setelah makan malam? Siapa yang mengontrol perubahan saluran melalui remote control? Apakah jenis negosiasi verbal dan nonverbal yang muncul saat keluarga memutuskan untuk menonton televisi? Itu merupakan beberapa perilaku yang dapat Anda cari untuk menentukan aturan menonton keluarga.

Manfaat Pendekatan Aturan dalam Komunikasi Massa
Pendekatan aturan komunikasi telah muncul sebagai paradigma alternatif yang bermanfaat bagi pembangunan teori komunikasi massa. Lull (1982) menyarankan pendekatan aturan sebagai jembatan antara teori "efek" dari interaksi manusia dan peneliti yang menganalisis konten media serta hubungannya pada struktur ekonomi dan politik. Perspektif aturan memandang anggota audiens sebagai partisipan aktif dalam proses komunikasi. Paradigma aturan dapat digunakan untuk menjembatani jurang pemisah antara mereka yang menganut efek langsung media dan pembuat teori kegunaan dan gratifikasi. Menggunakan orientasi multi-perspektif dapat meningkatkan kemungkinan membangun teori dalam komunikasi massa.

Teori Kultivasi
Teori Kultivasi dari efek komunikasi massa telah secara luas dikembangkan oleh Gerbner dan rekan-rekannya pada Annenberg School of Communication di University of Pennsylvania. Teori tersebut telah dikembangkan dan diuji berulang kali sepanjang 20 tahun terakhir melalui berbagai studi empiris. Teori Kultivasi menyatakan bahwa media terutama televisi, memiliki pengaruh yang amat besar dalam mengubah persepsi individu tentang realite. Teori Kultivasi (Gerbner, Gross, Morgan & Signorielli, 1980, 1986) menyatakan bahwa televisi bertanggungjawab atas perkembangan persepsi bagi norma sehari-hari dan realita. Mendramatisir dan mempertunjukkan norma dan nilai sebuah kebudayaan dulunya adalah tugas agama formal. Hari ini, televisi merupakan medium utama bagi sebuah kebudayaan untuk memperolah norma-norma dan nilai-nilainya. Televisi telah menjadi transmiter kebudayaan untama dalam masyarakat sekarang (Gerbner & Gross, 1976a, b). Televisi telah menjadi medium bagi kebanyakan orang untuk mengembangkan peran dan perilaku terstandar, sehingga fungsi utamanya adalah membudayakan. "Hidup" di dunia televisi menumbuhkan cara pandang tertentu terhadap realita. Beberapa orang berpendapat bahwa televisi memberikan sebuah pengalaman yang lebih hidup, lebih nyata, dan lebih berwarna daripada apapun yang dapat kita harapkan untuk dialami dalam kehidupan nyata.

Interaksi Media dan Realitas
Salah satu penulis baru-baru ini membaca sebuah artikel di sebuah surat kabar lokal yang menggambarkan kecenderungan kita untuk salah membedakan sebuah kejadian nyata dari rekaan televisi. Seorang reporter menghentikan mobilnya pada persimpangan sebuah jalan kecil dengan sebuah jalan tol. Ia melihat sebuah mobil mengebut di jalan tol pada kecepatan 100 mil per jam. Seiring mobil tersebut mencapai tempat di mana reporter tadi berhenti, ia tiba-tiba berusaha membelok ke kiri tanpa menurunkan kecepatan. Ia menabrak lampu rambu lalu lintas dan terbalik, dengan roda yang masih berputar. Tidak ada orang lain di sana. Reporter tersebut mengatakan ia hanya dapat melihat, tanpa bisa mempercayai apa yang baru saja ia lihat. Ia ingat pikirannya berkata, "Apa yang sedang kamu lihat tidaklah nyata. Kamu hanya sedang melihat sebuah film." Untuk hampir 10 detik ia hanya berdiri di sana, menunggu untuk melihat apakah yang akan terjadi berikutnya. Tentu saja, tidak ada yang terjadi, dan ia sadar bahwa hanya ia yang dapat menolong. Saat ia mendekati mobil itu, ia ketakutan, dengan gaya film, untuk alasan yang salah. Di TV dan film, semua mobil yang terbalik akan segera terbakar dan meledak. Untungnya, di "kehidupan nyata" mobil jarang sekali meledak. Dalam film dan TV, tidak ada "orang sungguhan" yang sungkan untuk mendekati tubuh yang telah mati atau termutilasi. Reporter tadi amat takut ia akan menemui kejadian seperti itu. Cerita ini mengungkapkan bahwa televisi dan film membuat kita sulit membedakan antara ilusi dan realita. Kita terkadang salah membedakan sebuah kejadian nyata dari kejadian di televisi, seperti contoh yang ditulis di atas. Kita mungkin seringkali membuat kesalahan tersebut. Kita seringkali menganggap televisi atau film sebagai hal yang nyata. Fenomena ini memberikan dasar bagi penelitian Teori Kultivasi.

Penonton Televisi "Berat" versus "Ringan"
Individu seringkali salah membedakan realita konstruksi media dengan realita sebenarnya. Gerbner dan Gross (1976b) melaporkan bahwa dalam 5 tahun pertama penyiaran Dr. Marcus Welby (seorang dokter fiksi yang diperankan oleh Robert Young dalam televisi), acara tersebut menerima lebih dari seperempat juta surat dari penonton. Kebanyakan surat berisi permintaan bagi saran medis. Gerbner dan rekannya melaporkan bahwa orang-orang yang banyak menonton televisi melihat dunia  lebih berbahaya dan mengerikan dibanding orang yang tidak banyak menonton televisi. Mereka telah mengidentifikasi 2 jenis penonton televisi yang berbeda dalam persepsi terhadap realita. Penonton berat didefinisikan sebagai mereka yang menonton selama 2 jam atau lebih per hari. Penonton ringan menonton dengan rata-rata 2 jam atau kurang per hari. Gerbner telah melaporkan bahwa penonton berat membesar-besarkan peluang mereka terlibat dalam sebuah kejahatan kriminal yang sadis. Mereka juga membesar-besarkan jumlah penegak hukum dalam masyarakat. Salah satu alasan kuatnya pengaruh televisi dalam proses kultivasi adalah banyak dari kita tidak memiliki kesempatan untuk mengamati beberapa aspek realita sesering kita mengamati realita termediasi. Kita mungkin memiliki kesempatan terbatas untuk mengobservasi pekerjaan internal di dalam kantor polisi sebenarnya, kamar operasi rumah sakit, dan ruang pengadilan. Hal ini membuat gambaran media menjadi gambaran kita tentang realita. Pernahkan Anda menyadari pesta tahun baru yang kita hadiri tidak pernah semeriah pesta tahun baru yang kita lihat di televisi?
Studi kultivasi tetap memasukkan faktor seperti tingkat pendidikan dan membaca surat kabar dalam menentukan pengaruh media terhadap persepsi realita. Walaupun pendidikan dan membaca surat kabar memiliki pengaruh, namun pengaruh menonton televisi masih lebih kuat. Satu-satunya faktor yang nampaknya memiliki efek independen terhadap persepsi adalah usia. Responden di bawah 30 tahun dilaporkan secara konsisten bahwa respon mereka lebih terpengaruh televisi dibanding mereka yang di atas 30 tahun (Gerbner & Gross, 1976b). Semenjak orang berusia 30 tahun dan kurang dari itu biasanya "tertempel" pada televisi, pengaruh pesan media lebih kuat. Seperti yang dilaporkan Gerbner dan rekan-rekannya, semakin lama seseorang "hidup" dalam dunia televisi, semakin realita dan gambaran media tentang realita menjadi kongruen.

Pemolesan Teori Kultivasi
Sebagai respon untuk tantangan kepada Teori Kultivasi, Gerbner dan rekan-rekannya memperkenalkan faktor mainstreaming dan resonansi membantu menambah kekuatan penjelasan tentang efek kultivasi (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, 1980). Mainstreaming menyatakan bahwa perbedaan persepsi realita karena faktor demografis dan sosial ternyata dihilangkan dengan sering menonton TV. Penonton televisi berat yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang tinggi cenderung merespon sama seperti penonton televisi berat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah. Seperti yang dinyatakan Gerbner dan rekan-rekannya "Penonton berat dari semua kelompok cenderung sama-sama memiliki pandangan yang relatif homogen" (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, 1980, h. 15). Resonansi menyatakan bahwa pengaruh pesan media terhadap persepsi realita meningkat saat apa yang dilihat masyarakat di televisi adalah apa yang mereka lihat di kehidupan. Dosis ganda dari pesan televisi cenderung membesarkan efek kultivasi.

Kritik dan Modifikasi terhadap Teori Kultivasi
Terlepas dari banyaknya data yang mendukung teori tersebut, efek kultivasi telah berhadapan dengan beberapa tantangan. Hughes (1980) dan Hirsch (1980) menganalisa kembali data dari National Opinion Research Center General Social Survey yang digunakan pada penelitian aslinya dan gagal menemukan dukungan bagi asumsi inti Teori Kultivasi. Kritik bagi teori tersebut berpendapat bahwa Teori Kultivasi mungkin tidaklah benar. Hughes (1980) melaporkan bahwa televisi mungkin benar-benar mengkultivasi persepsi realistis dan fungsional dari dunia. Ingatlah kembali beberapa penelitian yang mengidentifikasi fungsi prososial media. Terdapat pendapat bahwa sebagian besar asumsi Teori Kultivasi mungkin benar, tapi prosedur yang digunakan untuk mempelajarinya tidak mampu untuk menyibakkan efek sebenarnya. Hughes (1980) menyatakan bahwa pengukuran penonton berat hanya berhubungan dengan total keterpaan terhadap televisi, bukan apa yang ditonton secara spesifik. Karakter personaliti tertentu yang berhubungan dengan pemilihan program televisi tidak dikontrol dalam studi awal. Hawkins dan Pingree (1982) memeriksa 48 studi penelitian dilaksanakan tentang efek kultivasi. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat bukti yang cukup untuk mendukung pengarung menonton televisi terhadap persepsi realitas. Mereka menyarankan bahwa pengaruh ini paling kuat pada program yang mengandung unsur kekerasan. Baru-baru ini, Potter (1986) mengelompokkan subyek dalam beberapa dimensi realita berdasarkan tingkat realita yang "dilihat" masyarakat dalam pesan termediasi. Faktor ini lebih bersifat psikologis daripada variabel yang digunakan dalam pengujian teori yang sebelumnya. Potter (1986) menyimpulkan bahwa efek kultivasi mungkin lebih kompleks dari yang telah dinyatakan; lama keterpaan terhadap televisi mungkin kurang penting dibanding sikap dan persepsi individu yang ditunjukkan. Tidak terdapat keraguan bahwa kontroversi yang mengelilingi pengaruh media pada persepsi dan perilaku kita akan terus terjadi. Kita dapat berharap penelitian lebih lanjut dari cendekiawan komunikasi massa di bidang ini. Penemuan baru akan memoles dan memajukan upaya kita untuk membentuk teori komunikasi massa.

Rangkuman
Media massa memiliki pengaruh yang kuat pada kebudayaan dan perilaku indiivdu. Media mencerminkan sikap dan nilai sebuah kebudayaan dan memproyeksikan banyak pandangan dari sebuah masyarakat kepada anggotanya. Teori Peluru menyatakan bahwa media massa mempengaruhi kelompok besar masyarakat secara langsung dan seragam. Teori Dua Tahap berpendapat bahwa terdapat beberapa variabel yang menengahi antara pesan media dan reaksi audiens: kontak interpersonal yang informal dan pengaruh pemimpin opini. Teori Difusi tumbuh dari model awal tersebut. Ia mengidentifikasi kondisi yang mempengaruhi kemungkinan sebuah ide, produk, atau perilaku baru akan diadopsi. Beberapa teori komunikasi massa kontemporer telah disajikan. Komunikasi massa memiliki 5 fungsi untuk sebuah masyarakat: pengawasan, korelasi, tranasmisi kultural, hiburan, dan mobilisasi. Media juga memiliki fungsi agenda-setting; mereka mempengaruhi sikap kita dengan memfokuskan perhatian secara selektif kepada masalah tertentu. Teori Komunikasi Interpersonal Termediasi dari Gumpert dan Cathcart memeriksa interaksi komunikasi interpersonal dan media. Teori ini menemukan pengaruh teknologi termediasi dalam komunikasi interpersonal dan pengaruh interaksi langsung pada media. Teori Kegunaan dan Gratifikasi mencoba menjelaskan motif tersebunyi dari penggunaan komunikasi massa bagi individu. Asumsi inti dari teori ini adalah audien merupakan sebuah kelompok aktif yang mencari dan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Teori komunikasi massa berdasarkan aturan dan perilaku audiens juga telah disajikan. Teori Perilaku Audiens dari Lull mengidentifikasi 3 kelas perilaku berdasar aturan dalam menonton televisi keluarga. Pengaruh media terhadap persepsi realitas dijelaskan dalam Teori Kultivasi. Teori ini menyatakan bahwa televisi bertanggungjawab atas perkembangan persepsi norma sehari-hari dan realita. Teori ini berpendapat bahwa televisi telah menjadi medium di mana banyak orang mengembangkan peran dan perilaku terstandar.

Pertanyaan untuk Dipikirkan
1. Apakah pertanyaan telah membimbing penelitian komunikasi massa dan pembangunan teori?
2. Apakah yang dikatakan Teori Reflektif-Proyektif tentang efek media massa?
3. Apakah 5 fungsi media massa bagi masyarakat?
4. Jelaskan konsep agenda-setting media.
5. Apakah perbedaan Teori Peluru dan Teori Dua Tahap dalam menjelaskan efek media massa?
6. Apakah fokus dari Teori Difusi? Apakah ia memprediksikan tentang inovasi komunikasi massa?
7. Bagaimana Teori Komunikasi Interpersonal Termediasi berusaha menggabungkan masalah interpersonal dan media massa?
8. Bagaimana Teori Kegunaan dan Gratifikasi mengkonsepkan komunikasi termediasi?
9. Diskusikan beberapa contoh penelitian yang dilakukan dengan kerangka kerja Kegunaan dan Gratifikasi.
10. Apakah asumsi utama teori media massa dan perilaku audiens dari Lull?
11. Apakah yang dikatakan Teori Kultivasi tentang efek media massa?

 
Home | About Us |Contact Us | Advertise with Us | Free Blogger Templates | Widget | Site Maps
Copyright © 2010 - 2012. Pusat-cara.blogspot.com - All rights reserved | Proudly Powered by Blogger.com
Website Design by IDJUNAYDOTCOM | Sponsored by www.kent.prasetiyamandiri.com