muter kepala ngerjain take home CSR dateline nya besok... apa ini?? apa itu?? 6 semester jadi mahasiswi komunikasi, tapi berkomunikasi dengan baik aza belum bisa...hhahaha
banyak yang belum di ketahui. ternyata ilmu gue dangkal banget...hahaha oke-oke...
ne ada sedikit ilmu, buat bagi2... hahaaha
kalo ada Public Relations udah pasti sering denger ne... istilah CSR...
apa hayo??? (laga sok pinter) apa??? pinter.... (padahal ndak ada yang jawab)hehehe
langsung aza deh...
Sejak pertengahan abad ke 20 perdebatan panjang mengenai tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR) telah terjadi. Di tahun 1953, Bowen (1953)
menulis buku yang berkaitan dengan Social Responsibilities of the Businessman.
Pada perkembangan berikutnya telah terjadi pergeseran terminologi dari
tanggung jawab sosial bisnis ke CSR. Selanjutnya bidang ini berkembang
secara signifikan dan saat ini telah berkembang beragam teori,
pendekatan dan terminologi mengenai CSR. Masyarakat dan bisnis,
manajemen isu sosial, public policy and business, management stakeholders, tanggung
jawab perusahaan merupakan sejumlah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan hubungan tanggung jawab perusahaan dengan masyarakat. Kini
keinginan-keinginan baru untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan
alternatif konsep baru telah diajukan, termasuk corporate citizenship dan corporate sustainability. Dalam kaitan antara social entrepreneurship dan CSR, muncul konsep baru corporate social entrepreneurship (CSE) sebagai suatu pendekatan baru; yang di Inggris lebih dikenal dengan konsep smart CSR.
Apa itu CSR?
Sekilas akan dikemukakan mengenai pengertian CSR, batasan teori,
tantangan dan peluang penerapan tanggung jawab sosial perusahaan. CSR
berasal dari etika bisnis (bisa berlandaskan agama, budaya, etika
kebaikan lainnya) dan dimensi sosial dari aktivitas bisnis. Dengan
demikian CSR atau “being socially responsible” jelas merupakan
suatu cara yang berbeda untuk setiap orang dan setiap negara. Namun
demikian sebaiknya perlu kehati-hatian untuk tidak terlalu memaksakan
gerakan CSR Negara-negara Barat pada realita di Negara berkembang.
Blowfield dan Frynas (2005) membayangkan CSR diibaratkan sebagai
sebuah ‘payung’ bagi beragam pendekatan, teori dan praktek-praktek yang
mengakui hal-hal sebagai berikut:
(a) Bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap dampaknya
terhadap masyarakat dan lingkungan alam, yang terkadang lebih jauh lagi
sekedar memenuhi aspek legal dan pertanggungjawaban individual.
(b) Bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab untuk berperilaku dengan siapa mereka melakukan bisnis.
(c) Bahwa bisnis harus (perlu) mengelola hubungannya dengan
masyarakat yang lebih luas, dengan alasan komersial atau untuk nilai
tambah terhadap masyarakat.
Dengan demikian melahirkan beragam pemahaman mengenai (multi interpretation) mengenai CSR, sesuai konteks negara, jenis industri, isyu-isyu yang dihadapi. Beragam interpretasi mengenai CSR antara lain:
- Etika dan moralitas bisnis.
- Akuntabilitas perusahaan.
- Corporate citizenship (perusahaan warga).
- Bantuan dan pilantropi perusahaan.
- Perusahaan hijau dan pemasaran hijau.
- Manajemen keragaman.
- Tanggungjawab lingkungan.
- Hak asasi manusia.
- Rantai manajemen pembelian dan penyediaan yang bertanggungjawab.
- Investasi social yang bertanggung jawab.
- Perjanjian (kesepakatan) stakeholder.
- Keberlanjutan .
Definisi CSR
- “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve the quality of life, in ways that are both good for business and good for development’” (World Bank)
- “Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of workforce and their families as well as of the local community at large” (The World Business Council for Sustainable Development)
- Upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Lingkar Studi CSR Indonesia)
- “there is broad agreement in Europe on the definition of CSR as a concept whereby companies integrate social and environmental concerns – on a voluntary basis – into their business operations as well as their interaction with stakeholders” (European Communities, 2007)
Melalui definisi tersebut dapat ditarik konsep inti dari CSR yaitu:
- Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungan.
- Berdasarkan prinsip sukarela
- Kegiatan bisnis dan interaksi dengan para pemangku kepentingan harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan
Roadmap Lahirnya CSR
Konsep tanggung jawab sosial sebenarnya sudah lama ada sejak manusia
itu ada. Bentuk dan penerapan tanggung jawab sosial di masing-masing
masayarakat pun beragama, sesuai dengan nilai-nilai, agama dan
kepercayaan masing-masing. Bahkan bukan tidak mungkin konsep tanggung
jawab sosial perusahaan sudah muncul di setiap masyarakat dunia, jauh
sebelum Bowen (sebagai bapak CSR) menggagas tanggung jawab sosial
pebisnis. Namun demikian perlu pula kiranya melihat bagaimana perjalanan
popularitas konsep CSR, hingga menjadi konsep baru yang mulai banyak
dikaji oleh berbagai kalangan.
- Konsep CSR dipopulerkan tahun 1953 dengan diterbitkan buku “Social Responsibilities of Businessman” karya Howard R. Bowen
- Tahun 1960-an gema CSR mulai berkembang akibat persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang menjadi perhatian luas dari berbagai kalangan, dan masyarakat dunia melihat korporasi sebagai sumber alternatif.
- KTT Bumi (Earth Summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro menegaskan konsep sustainable development yang didasarkan perlindungan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial.
- “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” tahun 2002 di Yohannesberg, Afsel memunculkan konsep Social Responsibility yang mengiringi konsep sebelumnya yaitu economic and environment sustainability
- Sertifikasi ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility tahun 2010
CSR awalnya muncul sebagai sebuah pendekatan dalam mengatasi dampak
social dan lingkungan dari aktivitas perusahaan. Terdapat tiga tantangan
dalam hubungan bisnis-masyarakat: lingkungan, pemerintah dan
pembangunan. Selanjutnya berkembang konsep triple bottom line yang terdiri dari komponen economic, environmental, dan social. Gagasan triple bottom line pertama kali dikemukakan oleh John Elkington (1998) berkaitan dengan sustainable development, sebagaimana terlihat dalam gambar ilutrasi berikut:
3 (tiga) prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom line 3P
(people, profit, planet) tersebut yaitu kepedulian perusahaan yang
menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan
manusia (people) dan lingkungan (planet) agar keberadaan perusahaan
dapat tumbuh berkelanjutan.
Perspektif Strategi CSR
Perspektif Teoritis | Argument Utama | Penulis Utama Strategy CSR |
Teori Agency | CSR didorong oleh perilaku manager sendiri atas pengeluaran shareholder | Friedman 1962: Wright and Ferris 1997 |
Teori Permainan (Game Theory) | CSR sebagai perdagangan antara biaya sekarang dan manfaat masa depan | Prasad 2005 |
Teori Institusional | CSR didorong oleh penyesuaian diantara konteks institusi yang berbeda | Doh and Guay 2006: Jennings and Zandbergen 1995 |
Pandangan Berbasis-Sumber dalam Manajemen strategis | CSR dapat diperlakukan sebagai keterampilan khusus atau kemampuan untuk memperoleh suatu keuntungan kompetitif | Hart 1995; Russo and Fouts 1997 |
Teori Stakeholder | CSR didorong oleh hubungan dengan actor-aktor eksternal khusus | Clarkson 1995; Freeman 1984 |
Teori stewardship | CSR didorong oleh perintah moral manager untuk melakukan sesuatu yang ‘benar’ | Donaldson and Davis 1991 |
Teori Perusahaan | CSR didorong oleh penawaran atau permintaan bagi aktifitas social dalam pasar | Baron 2001; McWilliams and Siegel 2001 |
Source: Largely adapted from McWilliams et al.2006; in Frynas ‘Beyond Corporate Social Responsibility Oils multinationals and Social challenges’ 2009.
Sedangkan Garriga & Mele (2004) memetakan teori-teori CSR ke
dalam empat kelompok besar berdasarkan konsep Parson mengenai AGIL (adaptation, goal attainment, integration and latent maintenance) yang berkembang saat ini, sebagai berikut :
- Kelompok pertama yang berasumsi bahwa perusahaan adalah instrumen untuk menciptakan kesejahteraan dan bahwa ini merupakan satu-satunya tanggung jawab sosial. Hanya aspek ekonomi dari interaksi antara bisnis dan masyarakat yang dipertimbangkan. Jadi sekiranya terdapat aktivitas sosial yang diterima, jika dan hanya jika hal tersebut konsisten dengan penciptaan kesejahteraan. Kelompok teori ini dapat disebut instrumental theories karena mereka memahami CSR sebagai alat belaka untuk memperoleh keuntungan.
- Kelompok kedua yang melihat kekuatan sosial dari perusahaan yang menjadi tekanan, khususnya dalam hubungannya dengan masyarakat dan tanggung jawabnya dalam arena politis berkaitan dengan kekuatan ini. Hal tersebut mengarahkan perusahaan untuk menerima tugas-tugas dan hak-hak sosial atau berpartisipasi dalam kerjasama sosial tertentu. Kita dapat menyebut kelompok ini dengan political theories.
- Kelompok ketiga termasuk teori-teori yang mempertimbangkan bisnis seharusnya to integrate tuntutan sosial. Biasanya berpendapat bahwa bisnis tergantung pada masyarakat untuk kelanjutan dan pertumbuhannya, bahkan untuk keberadaan bisnisnya sendiri. Kelompok ini adalah integrative theories.
- Kelompok keempat teori dari pemahaman hubungan antara bisnis dan masyarakat adalah penanaman nilai-nilai etis. Hal tersebut mengarahkan visi CSR dari suatu perspektif etis dan sebagai konsekuensinya, perusahaan harus menerima tanggung jawab sosial sebagai sebuah kewajiban etis di atas pertimbangan lainnya. kelompok ini disebut dengan ethical theories
Secara singkat Frynas (2009) melihat bahwa pertimbangan perusahaan
untuk melakukan kegiatan CSR antara lain umumnya karena alasan-alasan
berikut:
- Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan
- Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif
- Bagian dari strategi bisnis perusahaan
- Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat
- Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial
Pada dasarnya tidak ada perspektis teoritis atau metodologi
penelitian yang dapat menjelaskan aktifitas CSR (Lockett et al.2006,
p.12) secara memuaskan. Namun demikian terdapat terdapat dua perspektif kuat yang berkembang saat ini, serta satu alternatif mengenai CSR:
1) Teori Stakeholder:
menekankan reaksi perusahaan (perseorangan) dalam konteks hubungan
dengan stakeholder ekternal. Perspektif ini dapat menjelaskan respon
strategis yang berbeda dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan social
walaupun dalam industry sejenis atau Negara yang sama, berdasarkan pada
sifat hubungan eksternal.
2) Teori Institusional:
menekankan daya adaptif perusahaan secara kelembagaan (aturan).
Pendekatan ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan dari Negara atau
industry berbeda dalam merespon tekanan social dan lingkungan, dan
mengapa di Negara yang berbeda-beda dari perusahaan multinasional yang
sama memililih strategi CSR yang berbeda, sebagai hasil dari
pemberlakuan norma atau keyakinan nasional.
Kedua perspektif tersebut dapat membantu menjelaskan bagaimana respon
perusahaan terhadap tekanan kondisi social ekternal dan lingkungan.
Namun demikian gagal untuk menjelaskan pilihan strategi aktif dalam
perusahaan, yaitu mengapa perusahaan tertentu menggunakan CSR sebagai
sebuah senjata melawan persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan
tertentu mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan energy.
3) Austrian economics: perspektif ini menyediakan wawasan terhadap upaya strategi aktif CSR dalam perusahaan dengan suatu perspektif kewirausahaan.
Austrian economics sebagai suatu alternatif CSR
Dalam kaitan dengankewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan
dalam mengatasi persoalan sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat
sebagai sumber pemecahan masalah sosial tersebut. Beberapa pemikiran Austrian economics mengenai CSR, adalah sebagai berikut:
- Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan bahwa strategi CSR dalam perusahaan harus dipandang sebagai sebuah keputusan investasi dan sebagai suatu cara memperoleh keuntungan kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan investasi lain yang harus diambil. (p.19)
- Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics berkenaan dengan tindakan kemanusiaan bukanlah berdasarkan ‘external constrains’ sebagai factor fundamental pembuatan keputusan (p.19)
- Perspektif Austrian menekankan peluang ‘future’ dan kewirausahaan aktif dalam mengidentifikasi masa depan (p.20).
- Karakteristik utama keberhasilannya ‘capitalist entrepreneurship’; yaitu bukan pada kemampuan mereka beraksi kepada sesuatu atau ‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi lebih pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang berhasil tentang masa depan (p.20)
Nampaknya konsep-konsep dari Austrian economics dapat lebih linkage
dengan upaya kewirausahaan sosial di Indonesia khususnya dalam
penyelesaian permasalahan sosial dan kemasyarakatan. Sebagai
perbandingan dari ketiga perpektif teoritis, dapat dilihat dalam tabel
berikut:
|
Teori Institusional | Teori Stakeholder | Austrian View |
Fokus Utama | Ketaatan pada aturan dan norma | Hubungan dengan factor eksternal | Peran kewirausahaan |
Determinan Strategi CSR | Hidup dengan konteks kelembagaan berbeda | Ketergantungan relative suatu perusahaan pada stakeholder | Tinjauan masa depan kewirausahaan |
Lingkup untuk kebebasan aksi manajemen | Non-choice behavior | Pilihan perilaku terbatas | Pilihan perilaku yang substansial |
Sudut pandang kewirausahaan dalam CSR diharapkan dapat memainkan
peran kunci dalam membentuk strategi perusahaan memandang permasalahan
social dan lingkungan.
Masalah-masalah Implementasi CSR
Selain hambatan business case, study yang dilakukan Nuffield Foundation telah mengidentifikasi sejumlah hambatan penting dalam penerapan CSR:
- Gagal memahami negara dan konteks isyu-isyu khusus
- Gagal melibatkan beneficiaries CSR
- Kurangnya sumber daya manusia: spesialist pengembangan masyarakat
- Sikap-sikap sosial dari staf perusahaan / atau hanya fokus pada solusi teknis dan manajerial
- Tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembanguan yang lebih luas.
Contoh yang paling terjadi mengenai ‘negara dan konteks isyu-isyu
khusus’ antara lain: konflik antar suku dan korupsi. Sedangkan kegagalan
melibatkan beneficiaries, tidak adanya upaya membangun partisipasi dari perusahaan dan upaya memandirikan beneficiaries. Sebagaimana disarankan Ellerman (2001) oleh World Bank’s Comprehensive Development Framework bahwa “..the ‘doer’ (a person, a community, a country, etc.) need to be ‘in the driver’s seat’ and actively help itself”. Perusahaan migas biasanya gagal melakukan konsultasi secara lebih luas kepada pimpinan lokal dan tokoh-tokoh lokal.
Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam penerapan proyek cenderung
terbatas atau tidak ada sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada
pemberian kontrak perusahaan secara lokal. Lebih buruk lagi, kegagalan
melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mentalitas
ketergantungan (dependency mentality).
Banyak persoalan tersebut sebetulnya dapat dihindari melalui
konsultasi mendalam dan partisipasi masyarakat lokal dengan inisiatif
kemandirian secara sungguh-sungguh menggunakan pengetahuan,
keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal. Tetapi keterlibatan
masyarakat lokal secara inheren terhambat dengan kurangnya sumber daya
manusia perusahaan dan pendekatan teknis/manajerial dari staf perusahaan
minyak.
Kurangnya ‘jalur karier’ (career path) untuk spesialist pengembangan
masyarakat di dalam perusahaan lebih jauh membatasi keahlian pembangunan
secara potensial. Berkaitan dengan kurangnya sumber daya manusia,
inisiatif CSR secara inheren menjadi cacat karena hasil dari sikap-sikap
sosial staf perusahaan minyak, artinya nilai-nilai sosial yang
mengarahkan penentuan keputusan staf perusahaan. Orang-orang yang
bergerak di perusahaan minyak biasanya memiliki latar belakang manjerial
atau keahlian teknik. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi menhadapi
tantang teknis dan manajerial. Dengan demikian pendekatan-pendekatan
teknik dan manajerial bisa berhasil mengatasi tantangan lingkungan,
tetapi tidak cukup dalam mengatasi permasalahan sosial yang kompleks
dimana lebih mementingkan soft skill, kesabaran, dan keterampilan interpersonal.
Dengan tidak terintegrasinya SR atau ‘social invesment’ ke
dalam rencana pembangunan yang lebih luas, potensi pembangunan dari
inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber mungkin tidak
nyambung dengan efektifitas pembangunan yang digunakan. Bahkan akibat
buruk lainnya adalah perusahaan akan menghadapi resiko timbulnya konflik
lokal karena kecemburuan dan menciptakan konsekuensi pembangunan
negatif.
Potensi dan Keterbatasan Transparansi
Transparansi dapat berkontribusi mengurangi effek ‘kutukan alam’,
namun demikian inisiatif transparansi relatif muda, dan sejumlah kajian
akademik yang dilakukan sudah out of date untuk dimanfaatkan
dalam inisiatif transparansi dan dampak aktual transparansi. Namun
demikian, kajian-kajian kuantitatif secara luas jelas-jelas menunjukkan
pengaruh perkembangan yang positif mengenai transparansi, diantaranya:
- Pengaruh politik= transparansi memperbaiki aliran informasi dari pengatur dan yang diatur.
- Pengaruh ekonomi= transparansi meningkatkan kredibilitas suatu negara diantara investor luar negeri dan masyarakat perbankan internasional
- Pengaruh sosial= pengaruh positif politik dan ekonomi dapat membawa banyak pengaruh sosial yang positif.
Namun demikian banyak studi mengenai transparansi menyarankan
sejumlah kondisi yang harus dipenuhi dalam rangka memaksimalkan dampak
positif dari transparansi. Berdasarkan literatur setidaknya ada 3 (tiga)
kondisi atau prasyarat yang harus dipenuhi: (1) kebebasan media; (2)
keterlibatan masyarakat sipil; dan (3) timing pengenalan transparansi.
Potensi dan Keterbatasan CSR
Bukti-bukti menunjukkan bahwa CSR memiliki potensi yang besar untuk
mengatasi tantang lingkungan. Sebaliknya CSR memiliki kelemahan dalam
mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat dan
pemerintahan. Perusahaan semestinya memperoleh manfaat yang besar dari
relasi dengan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik: berkurangnya
biaya operasional, tidak banyak korupsi, meningkatnya reputasi
perusahaan, dan seterusnya. Negara penyelenggara semestinya juga
memperoleh manfaat yang besar dari peningkatan sumber daya manusia dan
pemerintahan, dalam kerangka meningkatnya investasi swasta, meningkatnya
tingkat pendidikan, pelayanan publik yang lebih baik dan seterusnya.
Namun demikian, perusahaan nampak enggan mengatasi isyu-isyu
pemerintahan, sementara pendekatannya melalui pengembangan masyarakat
seringkali tidak efektif.
Dua alasan mendasar mengapa perusahaan multinasional gagal mengatasi persoalan pembangunan dan pemerintahan secara efektif: Pertama, ‘business case for CSR’(yakni,
memanfaatkan inisiatif sosial untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan)
batas satuan inisiatif untuk dapat mencapai masyarakat yang lebih luas. Kedua,
perusahaan multinasional seringkali gagal mengenali secara penuh
lingkup interaksi mereka dengan masyarakat dan politik, dan mereka tidak
mau menerima tanggung jawab terhadap isyu-isyu di level makro –
isyu-isyu yang berkaitan dengan dampak industri mereka terhadap
masyarakat luas.
Keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam CSR bukan berarti usaha
swasta tidak melakukan apa-apa terhadap isyu-isyu kemasyarakatan.
Perusahaan perlu didorong untuk melibatkan diri dengan aspek sosial dan
lingkungan dalam operasinya, dan mereka akan memperoleh peluang-peluang
bisnis yang CSR tawarkan.
Banyak inisiatif sukarela perusahaan gagal karena mereka tidak mendengar stakeholders-nya dengan baik. Keterlibatan pemangku kepentingan seringkali dangkal dan singkat, perusahaan mungkin mendengarkan stakeholder-nya dengan daya tawar yang lebih besar dengan prioritas kepentingan perusahaannya daripada memperhatikan stakeholder-nya.
Sehingga masalah krusial berikutnya adalah keputusan mengenai inisiatif
sosial dan lingkungan seringkali dilakukan untuk mencapai prioritas
perusahaan daripada stakeholder, yang akhirnya mengarah pada terbatasnya kemampuan CSR memberi manfaat signifikan kepada stakeholder.
Corporate Social Entrepreneurship (CSE): Kewirausahaan sosial dalam konteks CSR
“Social entrepreneurship is not just for the social sector. Corporation can also be social entrepreneurs” (Austin et.al., 2006:169)
Menurut Austin, Leonard, Reficco & Wei-Skillern (dalam Nicholls, 2006:169) corporate social entrepreneurship merupakan suatu strategi penguatan corporate citizenship (salah pendekatan CSR). Selanjutnya Austin mendefinisikan corporate social entrepreneurship sebagai
‘the process of extending the firm’s domain of competence and
corresponding opportunity set through leveraging of resources, both
within and outside its direct control, aimed at simultaneous creation of
economic and social value’
Lebih jauh Austin et.al. mengemukakan sejumlah tantangan perusahaan dalam menjalankan CSE, yaitu:
1) Leadership; dengan tiga dimensi penting yaitu :
- Visi, pemimpin harus memiliki visi dimana dimensi sosial merupakan pusat dan bagian integral dari kehidupan perusahaan
- Legitimasi, pemimpin harus menciptakan lingkungan internal yang tepat dan sesuai harapan dari proses CSE.
- Pemberdayaan, pemimpin harus memberi peluang pemimpin dan agen perubahan lainnya di perusahaan agar mampu membangun dan memutuskan suatu proses.
2) Strategy; dengan tiga elemen untuk CSE, yaitu:
- Alignment, dimensi sosial dan dimensi bisnis dalam strategi perusahaan harus seiring satu sama lainnya.
- Leveraging core competencies, fokus pada menemukan upaya kreatif dalam memobilisasi dan menyebarluaskan aset kunci perusahaan, komponen keberhasilan bisnis, sehingga akan tercipta hubungan nilai sosial dan bisnis yang berlipat ganda untuk terciptanya nilai ekonomi dan sosial yang lebih besar lagi.
- Partnering, bermitra dan menciptakan aliansi dengan entitas usaha lainnya akan lebih memperkuat proses CSE
3) Structures; struktur yang dibuat harus mengikuti strategi yang dipilih, sehingga Corporate Social Entrepreneur harus membuat bentuk organisasi yang inovatif dalam perusahaan dalam rangka memajukan dimensi sosial baru.
4) Systems; sistem yang dibuat harus mengikuti struktur, sehingga CSE dapat membentuk seperangkat sistem yang masyaratkan:
- Meningkatkan pembelajaran mengenai proses pembuatan keputusan mengenai dimensi sosial dan ekonomi;
- Memungkinkan eksekusi yang efektif
- Suatu proses efektifitas komunikasi nilai-nilai ekonomi dan sosial
Beberapa contoh praktik CSE yang telah dilakukan di Indonesia antara lain dikemukakan oleh Budi Gunadi Sadikin (direktur Retail dan mikro banking Bank Mandiri) yang menyebut program Wirausaha Mandiri dan pola kemitraan ini sebagai corporate social entrepreneurship (CSE) atau kewirausahaan sosial perusahaan. Terdapat dua pola penyaluran program, yaitu melalui one by one program (penyaluran langsung kepada masyarakat) dan linkage program (pola
inti-plasma, yaitu menggandeng perusahaan besar yang memiliki kemampuan
dan komitmen untuk melakukan pembinaan usaha kecil yang menjadi mitra
usahanya).
Konsep kewirausahaan sosial perusahaan (CSE), sebenarnya sudah coba
diterapkan oleh beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) multinasional
di Indonesia. Contoh PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Duri
Bengkalis, yang mencoba program Local Business Development (LBD) dengan
memberdayakan masyarakat lokal untuk terlibat dalam kegiatan perusahaan
yang terbatas. Pihak CPI melatih dan membentuk usaha-usaha kecil
(semacam CV) yang dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang medukung
operasi CPI, seperti pemeliharaan kebersihan, keamanan, pengecatan,
gardening, dsb.; yang nilai kontraknya tidak lebih dari Rp. 100 juta
rupiah.
Contoh berikutnya adalah PT. Total Indonesia (perusahaan minyak yang
berbasis di Perancis) yang mereka memberi modal ke masyarakat, melalui coaching clinic
dan penciptaan usaha . Selanjutnya, karena keterbatasan SDM kemudian
PT. Total Indonesia menggandeng organisasi non profit untuk bersama-sama
memberdayakan masyarakat sekitar. Demikian pula yang dilakukan oleh BP
(British Petroleum) perusahaan minyak Inggris di Indramayu menggaet
pemerintah daerah, organisasi non pemerintah dan masyarakat setempat
dalam mengembangkan kegiatan CSR-nya.
Berikut beberapa pengertian kewirausahaan sosial hasil diskusi yang
dikembangkan di Laboratorium Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD tentang
kewirausahaan sosial; sebagai berikut:
Kewirausahaan sosial adalah karakteristik mental orang yang memiliki
kepekaan untuk menangkap peluang (masalah/kebutuhan akibat perubahan
sosial), kemampuan berfikir kreatif dan inovatif, serta keberanian untuk
mengisi peluang; substansinya ide solusi masalah/ pemenuhan kebutuhan
(pelayanan) sosial.
Kewirausahaan sosial adalah penerapan mental kewirausahaan dalam
bidang kehidupan sosial dalam ujud ide-ide pelayanan sosial di semua
level unit sosial (masyarakat, golongan/kelompok, dan individu).
Sedangkan secara operasional kewirausahaan sosial dapat diartikan
sebagai proses kreatif dan inovatif dalam pengembangan ide pelayanan
sosial yang tidak melanggar ajaran agama dan nilai-nilai sosial-budaya
masyarakat; tetapi efektif mengatasi masalah sosial.
CSR dalam kaitan dengan kewirausahaan sosial dapat dipahami sebagai berikut:
- Sebagai sistem sumber (resource), maka baik perusahaan maupun stakeholders untuk memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari CSR untuk mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan.
- Sebagai strategi CSR; maka perusahaan memanfaatkan cara-cara yang kreatif dan inovatif, dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemecahan masalah sosial kemasyarakatan.
- Sebagai prinsip/semangat dalam melaksanakan kegiatan CSR, baik dilakukan sendiri atau bermitra dengan stakeholder lainnya.
- Sebagai media untuk saling berbagi diantara berbagai stakeholders (pemerintah, masyarakat/ komunitas, ornop, dst.) perusahaan dalam mengatasi persoalan-persoalan sosial.
Sudah waktunya masyarakat akademik mengkaji kemitraan dan usaha
bersama antara korporasi dengan konsep kewirausahaan sosial, sebagaimana
dinyatakan Jane Nelson & Beth Jenkins (dalam Elkington &
Hartigan, 2008: 76-77). Mereka merekomendasikan bahwa sudah saatnya dunia usaha khususnya para
pemimpin perusahaan mengarah pada wirausaha sosial melalui
kunjungan-kunjungan proyek, pengalaman pembelajaran, dan
mengintegrasikan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan
elemen-elemen kewirausahaan sosial dalam mainstream pendidikan bisnis. Durieux & Stebbins (2010: 138-140). memberikan gambaran dan tip dalam melaksanakan kegiatan CSR serta
bagaimana social entrepreneur memanfaatkan dan mendorong CSR tidak
sekedar memperoleh keuntungan, tapi tanggung jawabnya kepada komunitas
dan masyarakat.
Paradigma social entrepreneurship dalam konteks CSR
diharapkan tidak hanya sekedar ‘jargon’ bagi perusahaan dalam menerapkan
kegiatan CSR nya. Paradigma ini juga merupakan peluang sekaligus
tantangan bagi perusahaan. Peluangnya adalah perusahaan dapat berkreasi
dan berinovasi untuk menciptakan program-program memberdayakan
masyarakat yang berbasis kewirausahaan; sementara itu, tantangannya
adalah semangat social entrepreneurship harus menjadi
ruh/semangat yang terintegrasi dalam perusahaan, sehingga inisiasi CSR
muncul dari dalam diri perusahaan itu sendiri, bukan sekedar dorongan
eksternal semata.
Untuk memperbaiki dan mengembangkan blog ini menjadi lebih baik, mari bersama - sama kita bangun, caranya? Apabila kamu menemukan link yang mati/sudah tidak berfungsi atau gambar yang sudah tidak muncul/expire, silahkan hubungi kami disini. Laporan anda sangat berpengaruh pada perkembangan blog ini.Tanks atas perhatiannya
GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel yang terbaru
Dari Kami langsung ke email anda!
Dari Kami langsung ke email anda!
0 komentar:
Posting Komentar