gara2 mau ujian hadits, kebingungan ndak ada materi... akhirnya gencar cari materi...hehhee ne sedikit materi tentang hadits... semoga bisa membantu...:)
Pengertian Ilmu Hadits
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam
tradisi ulama hadits. (Arab nya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al
-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata
‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi
berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al- hadist di kalangan Ulama Hadis
berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan,
perkataan, taqir, atau sifat.” (Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah
al-hadist (Beirut: Dar Al-qur’an al-karim, 1979), h.14) dengan demikian,
gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang
membahas atau berkaitan Hadis nabi sholallahu ‘alaihi wasallam”. Ilmu
hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui
kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu yang berpautan
dengan hadits, banyak ragam macamnya.
Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama
hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada
hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki
persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan
dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits,
dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka
persoalan yang ada dalam ilmu hadits ada 2. Pertama berkaitan dengan
sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad
akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung
sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits yang dicantumkan
di dalam sanad hadits itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu
yang berkaitan denga matan akan membantu kita mempersoalkan dan
akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal
dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan
dengan dalil lain atau tidak.
Menurut istilah para muhadditsin, ilmu hadits ialah ilmu
pengetahuan tentang sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk
jasmaniah Rasulullah saw. beserta sanad-sanad dan ilmu pengetahuan untuk
membedakan keshahihannya dan kedlaifannya daripada lainnya, baik matan
atau sanadnya.
Disamping ilmu hadits, dalam ilmu mustholahul hadits juga
dikenal dengan ilmu ushulil hadits. Secara istilah ilmu ushulil hadits
ialah suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal
keshahihan, kehasanan, dan kedho’ifan, matan maupun sanad dan untuk
membedakannya dengan yang lainnya.
Sejarah Hadits
-
- Masa Penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta
korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan
itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser
kepada bidang Syari’at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu’
(palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna
mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan
mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin
memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak
sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu
memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau
pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681
M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi’in
mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi
menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi’in ini sangat berhat-hati
sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi
sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar
siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan
permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber /
pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih
kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan
suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu
diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi’ut tabi’in.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720
M) termasuk angkatan tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam
penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk
menghimpun Al Hadist dari para tabi’in yang terkenal memiliki banyak Al
Hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin
Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124
H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang
setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud.
Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al
Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
di Mekkah – Ibnu Juraid (tahun 80 – 150 H / 699 – 767 M)
di Madinah – Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
di Madinah – Sa’id bin ‘Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
di Madinah – Malik bin Anas (tahun 93 – 179 H / 712 – 798 M)
di Madinah – Rabi’in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
di Yaman – Ma’mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
di Syam – Abu ‘Amar Al Auzai (tahun 88 – 157 H / 707 – 773 M)
di Kufah – Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
di Bashrah – Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
di Khurasan – ‘Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 – 181 H / 735 – 798 M)
di Wasith (Irak) – Hasyim (tahun 95 – 153 H / 713 – 770 M)
- Jarir bin ‘Abdullah Hamid (tahun 110 – 188 H / 728 – 804 M)
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa
penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini,
adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu’, mana
yang Mauquf dan mana yang Maqthu’.
- 2. Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku
Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada
masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan
pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana
Al Hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Al Hadits marfu’ ialah Al
Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi’in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
Ahmad bin Hambal
‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
Musaddad Al Bashri
Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
‘Utsman bin Abi Syu’bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855
M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang.
Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun
Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat
musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang
bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit termuat
dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian
sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini
adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M). Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh
Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya
ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan
kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al
Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana
terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah
telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al
Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
- Kitab Shahih – (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) – berisi Al Hadits yang shahih saja
- Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak munkar.
- Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3
Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari
sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al
Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja
atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan
pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al
Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa
memperbaiki susunan kitab Al Hadits, menghimpun yang terserakan dan
memudahkan mempelajarinya.
Hadits Ditinjau Dari Segi Kuantitas
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak
sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada
garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul
dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu
segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera,
seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji
maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan
berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu
perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar
hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits
itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat
memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah
para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan
hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak
melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan
sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya
orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang
secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara
mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
- Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
- Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
- Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
- Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
- Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut
di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang
menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat
memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab
yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir.
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni
keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan
mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian
terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya
tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai
ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua
hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits
mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari
hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari
hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan
pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah
:
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya:
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis
mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis
tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada
banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang
berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad,
Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan
jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu
adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai
sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya
demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana
tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2
(dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya:
“Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: ”
“Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya.
Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak,
dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk
diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita
pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah
hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah
satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin
dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu
kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
c. Pembagian Hadits Ahad
a. Hadis Masyhur.
Masyhur menurut bahasa adalah populer, adapun menurut
istilah hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat,
tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir, kemudian
baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka . Hadis
masyhur juga diartikan hadis yang diriwayatkan oleh tiga perawi .
b. Hadis Aziz.
Aziz secara bahasa berarti yang sedikit, yang gagah, yang
kuat. Sedangkan aziz menurut istilah ahli hadis adalah suatu hadis yang
diriwayatkan dengan dua sanad yang berlainan rawi-rawinya . Dalam
definisi lain disebutkan oleh At-Tahham bahwa hadis aziz adalah hadis
yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad.
c. Hadis gharib.
Gharib dalam pengertian bahasa berarti yang jauh dari
negerinya, yang asing, yang ajaib, yang luar biasa, yang jauh dari paham
. UlamaĆ¢€™ hadis mendefinisikan bahwa hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya .
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Khattib, M. ’Ajaj, 1998, Ushul Al-Hadits, Terj. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama
Aziz, H.. Mahmud dan Mahmud Yunus. 1984. Ilmu Mustholah Hadits. Jakarta : PT Hidakarya Agung
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, 1999, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra.
_________,1998, Sejarah Perkembangan Hadits, Jakarta: PT Bulan Bintang
Dhani Permana, ulumul hadits, http//: www.syiarislam.com
Dewan Redaksi. Ulumul hadits: pembagian hadits secara umum. http//: www.cybermq.com
Media bil Hikmah, antara sunnah, hadits, khabar, dan atsar, http//: www.mediabilhikmah.com
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahu’l hadits. Bandung: PT Alma’arif,.
Yusron, M. Pohon Ilmu Hadits. http//: www.darussholah.com
Untuk memperbaiki dan mengembangkan blog ini menjadi lebih baik, mari bersama - sama kita bangun, caranya? Apabila kamu menemukan link yang mati/sudah tidak berfungsi atau gambar yang sudah tidak muncul/expire, silahkan hubungi kami disini. Laporan anda sangat berpengaruh pada perkembangan blog ini.Tanks atas perhatiannya
GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel yang terbaru
Dari Kami langsung ke email anda!
Dari Kami langsung ke email anda!
0 komentar:
Posting Komentar