Komunikasi Massa dalam Masyarakat Kontemporer
Masyarakat kontemporer tidak hanya
mempengaruhi media massa dan komunikasi namun ia sendiri juga dipengaruhi oleh
komunikasi massa atau termediasi (lihat Cathcat & Gumpert, 1986; Lowery
& DeFleur, 1983). Jarang sekali sebuah hari berlalu tanpa disebutkannya
betapa media dan komunikasi massa mempengaruhi kehidupan kita. Surat kabar dan
laporan radio meneriakkan headline seperti "Studi menemukan hubungan
antara bunuh diri oleh remaja dengan berita TV dan film," dan, "Acara
prime-time di TV ditemukan memiliki unsur kekerasan lebih banyak dari video
rock." Melalui media massa, masyarakat mempelajari hampir seketika tentang
peristiwa besar di berbagai belahan dunia. Sebagai pemirsa, kita seringkali
menyaksikan kejadian global baik yang menggembirakan maupun yang mengharukan.
Kebanyakan rumah di Amerika sedikitnya memiliki 1 televisi dan 1 radio.
Seringkali, teknologi mediasi yang baru
juga ditemukan di rumah kita: videotape recorder, televisi kabel dan satelit,
dan personal computer yang terhubung pada database sentral melalui modem.
Teknologi-teknologi tersebut mengubah sifat dari komunikasi "massa."
Salah satu konsekuensi dari inovasi ini
dan perubahan sifat dari penggunaan media adalah perkembangan teori baru dalam
komunikasi massa. Teori-teori tersebut mencooba menjelaskan bagaimana individu
merespon pada media, memprediksi seberapa cepat masyarakat akan mengadopsi
inovasi tersebut, dan upaya untuk menentukan apakah efek media massa pada individu,
masyarakat, bentuk lain dari komunikasi manusia, dan kebudayaan. DeFleur dan
Ball-Rokeach (1982) menyarankan 3 pertanyaan besar yang menstimulasi banyak
penelitian dan pembangunan teori dalam komunikasi massa:
1. Apakah
pengaruh masyarakat terhadap media massanya?
2. Bagaimanakah
komunikasi massa terjadi?
3. Apakah
pengaruh keterpaan terhadap komunikasi massa terhadap masyarakat?
Hingga akhir-akhir ini, beberapa upaya
penelitian komunikasi massa dirancang untuk mengeksplorasi pertanyaan pertama.
Baru-baru ini, upaya penelitian komunikasi massa menyelidiki peran masyarakat,
budaya, dan individu dalam produksi konten komunikasi massa. Pertanyaan kedua menyelidiki bagaimana
komunikasi massa berbeda dari bentuk komunikasi manusia yang lainnya. Perbedaan
antara komunikasi massa dan komunikasi interpersonal telah menstimulasi
sejumlah penyelidikan bagi peneliti komunikasi. Beberapa teori telah
mempelajari bagaimana komunikasi massa dan komunikasi interpersonal bekerja
sama mempengaruhi proses pembuatan keputusan seorang individu. Teori lainnya
mencoba menawarkan sintesa baru dari komunikasi interpersonal dan massa, yang
berlabel komunikasi interpersonal termediasi. Banyaknya teori dan penelitian
komunikasi massa ditujukan pada Pertanyaan 3. Banyak pembuat teori telah
menyelidiki bagaimana pesan media massa
mempengaruhi persepsi dan perilaku masyarakat. Contoh teori-teori
tersebut akan dijelaskan secara detail pada bab ini. Beberapa teori berusaha
memahami keterlibatan audiens dalam komunikasi massa. Teori lainnya berusaha
menjelaskan bagaimana pesan termediasi membentuk persepsi kita tentang
realitas. Sementara penelitian lain menyelidiki bagaimana aturan komunikasi
digunakan untuk memandu interaksi kolektif anggota audiens dengan media massa.
Pengaruh Komunikasi
Massa
Terlepas dari berbagai pertanyaan yang
dilontarkan oleh teori-teori, nampaknya jelas bahwa media massa memiliki
pengaruh yang kuat dalam masyarakat, budaya, dan perilaku individu. Memang,
komunikasi massa telah menjadi salah satu pengaruh paling kuat dalam masyarakat
kontemporer. Loevinger (1979) menawarkan apa yang disebut Teori
"Reflektif-Proyektif" bagi komunikasi massa. Teori ini mengatakan
bahwa media massa bertindak seperti "cerminan masyarakat." Cermin
tersebut merefleksikan gambar ambigu yang dilihat tiap individu maupun
memproyeksikan tidak hanya pandangan individu, tapi juga pandangan masyarakat.
Media tidak hanya mencerminkan perilaku dan nilai masyarakat tetapi juga
memproyeksikan banyak pandangan dari anggota-anggota sebuah masyarakat. Anggota
audiens melihat media dengan pandangan atau bayangan mereka sendiri. Loevinger
membandingkan proses ini dengan sebuah tes Rorschach. Tes ini biasanya
digunakan oleh psikologis, mempersilahkan individu memproyeksikan ide,
bayangan, dan pandangan mereka sendiri untuk menginterpretasikan stimuli yang
ambigu seperti bercak-bercak tinta. Secara serupa, media massa menawarkan
gambar-gambar terpilih yang menyediakan dasar bagi interpretasi individu.
Interpretasi tersebut dapat beragam tergantung pada karakter intelektual,
emosional, dan sensori serta tingkat responsif individu. sebagai bukti dari
akibat media dalam masyarakat kontemporer, Loevinger berpendapat bahwa bangsa
atau komunitas tidaklah harus dibentuk dibentuk oleh peta atau batasan
geografis. Namun, bangsa atau komunitas dibentuk oleh gambaran atau pandangan
yang sama, bersama dengan minat, ide, dan budaya yang sama. Media massa
mencerminkan gambaran sosial dari massa.
Upaya Pembangunan
Awal Teori dalam Komunikasi Massa
Perkembangan Masyarakat "Massa"
Seiring masyarakat menjadi semakin besar
dan bertambah "massa", terdapat pertumbuhan yang serupa dalam
komunikasi massa. Teori-teori dikembangkan untuk menjelaskan pengaruh
bentuk-bentuk komunikasi baru tersebut dalam masyarakat. Selama Perang Dunia I,
media massa baru digunakan untuk membantu memobilisasi populasi (fungsi
mobilisasi) dan menciptakan dukungan untuk berbagai upaya perang. Istilah
"propaganda" pertama muncul dalam waktu tersebut. Pesan yang
dirancang untuk menstimulasi dan menimbulkan dukungan bagi upaya perang
tersebut disebarkan melalui media massa. Media yang baru saja dikembangkan itu
digunakan secara efektif untuk mengangkat mempromosikan kepercayaan bangsa yang
sedang berperang. Komunikasi massa menjadi sebuah alat penting digunakan oleh
individu yang terlibat dalam upaya persuasi berskala besar. Setelah Perang
Dunia I, masyarakat di Amerika menyaksikan pertumbuhan individualitas yang
semakin besar; masyarakat menjadi semakin tidak homogen. Individu tidak lagi
bergantung satu sama lain. Istilah "masyarakat massa" diciptakan oleh
sosiolog untuk mendeskripsikan tidak hanya sejumlah besar orang dalam sebuah
kebudayaan, tetapi hubungan antara individu dan aturan sosial di sekitar
mereka (DeFleur & Ball-Rokeach, 1982). India dan China, sebagai contoh,
adalah kebudayaan yang memiliki masyarakat berjumlah besar. Aturan sosial dari
2 kebudayaan tersebut tidak mengijinkan heterogenitas, independensi,
individualitas, dan otonomi, seperti yang dimiliki masyarakat "massa"
Amerika.
Teori Peluru
Terkadang disebut juga dengan "Teori
Jarum Hipodermik" atau "Teori Stimulus - Respon Mekanistis" dari
komunikasi massa, Teori Peluru adalah salah satu teori pertama yang
dikembangkan tentang efek perkasa dari media pada audiens. Teori peluru dan
banyak variasi kecil lainnya berasal dari pandangan stimulus-respon yang
dipegang teguh oleh beberapa peneliti dan pembuat teori komunikasi massa pada
awalnya. Pandangan ini menyatakan bahwa stimulus yang kuat seperti sebuah pesan
media massa dapat memprovokasi sebuah reaksi atau respon yang seragam dari
suatu organisme, contohnya audiens. Ingatlah kembali bahwa media massa dianggap
memiliki pengaruh langsung yang kuat terhadap audiens. Teori Peluru atau Jarum
Hipodermik menyarankan bahwa media massa dapat mempengaruhi sekelompok besar
orang secara langsung dan seragam dengan "menembak"
atau "menyuntik" mereka dengan pesan sesuai yang dirancang untuk
membangkitkan repon yang diinginkan. Popularitas dari teori awal
stimulus-respon tersebut konsisten dengan teori masyarakat massa yang terdapat
di psikologi dan sosiologi. Sebagai tambahan, "bukti" kekuatan media
terdapat pada kemampuannya mendukung mobilisasi untuk upaya perang. Media massa
yang baru muncul ternyata memiliki efek yang dahsyat terhadap audiens, tetapi
juga terdapat beberapa faktor bebas lain yang memiliki pengaruh besar terhadap
audiens pada waktu itu. Setelah melakukan penelitian tambahan selama
bertahun-tahun, peneliki komunikasi massa menyumpulkan bawa teori
stimulus-respon awal tersebut tidak memiliki penjelasan lengkap dan kemampuan
prediksi. Mereka mengembangkan teori alternatif yang meliputi tidak hanya
kekuatan media untuk mempengaruhi sikap dan perilau, tetapi juga pengaruh dari
sumber pesan dan reaksi audiens yang berbeda. Contoh teori alternatif tersebut
nanti akan dijabarkan di bab ini.
Teori Dua Tahap
Komunikasi Massa
Salah satu teori awal dari komunikasi
massa yang mengenali terdapat banyak variabel yang mengubah efek pesan pada
respon audiens adalah Teori Dua Tahap dari komunikasi massa (Katz &
Lazarsfeld, 1955). Untuk menguji pengaruh langsung dan kuat dari media massa
terhadap perilaku audiens yang dihipotesiskan, beberapa peneliti merancang
sebuah studi untuk memeriksa bagaimana individu dari kelompok sosial berbeda
memilih dan menggunakan pesan komunikasi massa untuk mempengaruhi pemilih
(lihat Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet, 1944). Peneliti berharap akan
menemukan bukti empiris bagi pengaruh langsung pesan media terhadap keinginan
memilih. Namun mereka terkejut karena menemukan bahwa kontak personal yang
informal ternyata disebutkan lebih sering daripada terpaan terhadap radio
atau surat kabar yang meruakan sumber pengaruh potensial bagi perilaku pemilih.
Saat ditanyai lebih lanjut, beberapa partisipan mengunkapkan bahwa mereka telah
menerima informasi tentang kampanye lebih dahulu dari orang lain
(yang menerima informasi langsung dari media massa).
Dipersenjatai dengan data ini, Katz dan
Lazarsfeld mengembangkan Teori Dua Tahap bagi komunikasi massa. Teori
ini menyatakan bahwa informasi dari media bergerak dalam 2 tahap yang jelas.
Pertama, individu yang memperhatikan media masa dan pesannya menerima
informasi. Individu tersebut, disebut pemimpin opini, umumnya adalah
orang-orang yang mendapat informasi dengan baik dan meneruskan informasi itu ke
orang lain melalui komunikasi interpersonal yang informal. Pemimpin opini juga
meneruskan interpretasi mereka sendiri sekaligus dengan konten media yang
sebenarnya. Istilah "pengaruh personal" digunakan untuk merujuk
kepada proses intervensi antara pesan langsung media dan reaksi akhir audiens
terhadap pesan. Selama 45 tahun terakhir banyak sekali penelitian yang
menghasilkan pengetahuan yang cukup mengenai kepemimpinan opini. Beberapa
karakteristik pemimpin opini telah teridentifikasi. Pemimpin opini cukup
berpengaruh dalam mengubah sikap dan perilaku orang-orang dan cukup serupa
dengan mereka yang dipengaruhinya. Pikirkan seseorang yang Anda ajak konsultasi
sebelum membuat pembelian besar. Mungkin Anda memiliki seorang teman yang
mengetahui banyak hal tentang mobil. Anda mungkin mendengar sejumlah pesan di
televisi tentang kualitas yang baik dari Fort Tempo atau Toyota Camry. Media
massa jelas-jelas memberi Anda informasi tentang tiap mobil, tapi apakah Anda
sepenuhnya bergantung kepada informasi ini untuk menentukan mobil mana yang
akan Anda beli? Jika Anda seperti kebanyakan orang, jawabannya tentu tidak.
Anda mungkin pergi ke perpustakaan dan memeriksa Laporan Konsumen untuk
menentukan apa yang mereka bilang tentang 2 mobil tersebut. Apakah informasi
ini cukup untuk membujuk Anda memilih salah satu mobil tersebut? Mungkin, tapi
kemungkinan Anda juga akan mencari nasehat dari seseorang yang Anda anggap
seorang pemimpin opini dalam topik kendaraan.
Teori Dua Tahap telah mengembangkan
pemahaman kita tentang bagaimana media massa mempengaruhi pengambilan
keputusan. Teori tersebut menajamkan kemampuan kita untuk memprediksi pengaruh
pesan media terhadap perilaku audiens dan juga membantu menjelaskan mengapa
kampanye media tertentu gagal untuk mengubah sikap dan perilaku audiens.
Terlepas dari kontribusi tersebut, Teori Dua Tahap juga menerima kritik.
Pertama, beberapa berita penting nampaknya disebarkan langsung oleh media dan
hanya sedikit mendapat intervensi dari kontak personal. Kehancuran pasar saham
pada tanggal 19 Oktober 1987 adalah salah satu kejadian yang didengar
kebanyakan orang pertama kali dari media, baru kemudian didiskusikan secara
interpersonal. Kedua, definisi pemimpin opini seringkali masih belum jelas.
Severin dan Tankard (1988) mengatakan bahwa beberapa pemimpin opini menominasi
dirinya sendiri, tapi tidak dilaporkan sebagai pemimpin opini oleh orang yang
semestnya menjadi pengikut mereka. Kesulitan lain adalah bahwa pemimpin opini
ditemukan bersifat baik aktif maupun pasif. Teori Dua Tahap berpendapat bahwa
pemimpin opini adalah pencari media aktif, sementara pengikut mereka adalah
"spons" informasi yang pasif. Perbedaan antara perilaku media dari
pemimpin dan pengikut tersebut belumlah terntu benar. Terakhir, walaupun Katz
dan Lazarsfeld berpendapat perlunya sebuah model 2 tahap, proses penyebaran
media dan perilaku audiens dapat mencakup lebih banyak tahap. Hal ini membuat
Teori Dua Tahap kemudian memberi jalan bagi lahirnya Teori Banyak Tahap bagi
komunikasi massa. Teori Banyak Tahap ini seringkali digunakan untuk
mendeskripsikan difusi inovasi.
Teori Difusi
Penelitian yang membahas difusi menyelidiki
bagaimana ide baru dapat menyebar di antara kelompok masyarakat. Teori Dua
Tahap pada dasarnya membahas pertukaran informasi antara media dan orang lain.
Penelitian difusi melangkah lebih jauh. Penelitian difusi berpusat pada kondisi
yang meningkatkan atau mengurangi kemungkinan sebuah ide, produk, atau perilaku
baru akan diadopsi oleh anggota dari sebuah kebudayaan. Penelitian difusi
berfokus pada 5 elemen: (1) karakteristik dari sebuah inovasi yang dapat
mempengaruhi proses adopsinya; (2) proses pengambilan keputusan yang
terjadi saat individu mempertimbangkan untuk mengadopsi sebuah ide, produk,
atau perilaku baru; (3) karakteristik individu yang membuat mereka lebih
mungkin mengadopsi sebuah inovasi; (4) konsekuensi bagi individu dan
masyarakat jika mengadopsi sebuah invoasi; dan (5) saluran komunikasi yang
digunakan dalam proses adopsi (lihat Rogers, 1983).
Dalam bidang saluran komunikasilah Teori
Dua Tahap telah dikembangkan. Saluran komunikasi mencakup baik media massa
maupun kontak interpersonal. Teori Banyak Tahap dan Difusi mengembangkan jumlah
dan jenis penyentara antara media dengan pengambilan keputusan audiens. Dalam
penelitian difusi banyak tahap, pemimpin opini masih memiliki pengaruh terhadap
perilaku audiens via kontak personal mereka, namun penyentara tambahan yang
disebut agen dan penjaga gerbang juga dimasukkan ke dalam proses difusi. Agen
perubahan adalah para profesional yang mendukung pemimpin opini untuk
mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Penjaga gerbang adalah individu
yang mengontrol aliran informasi menuju kelompok masyarakat tertentu. Sementara
pemimpin opini biasanya cukup serupa dengan pengikutnya, agen perubahan
biasanya lebih teredukasi dan memiliki status lebih tinggi dari pemimpin opini
maupun pengikutnya. Agen perubahan mungkin saja berupa seorang perwakilan dari
perusahaan televisi kabel nasional yang berusaha membujuk pemimpin opini dalam
sebuah komunitas (petugas kota, sebagai contoh) bahwa televisi kabel harus
terpasang di kota mereka. Contoh lain agen perubahan adalah seorang perwakilan
perusahaan komputer yang berusaha meyakinkan petugas sekolah lokal untuk
menggunakan komputer tertentu pada sistem sekolah. Perwakilan ini kemungkinan
lebih berpengetahuan tentang sistem komputer daripada pemimpin opini (petugas
sekolah). Namun, tugas mempengaruhi dewan kota untuk menyediakan uang bagi
komputer tersebut tetap terletak pada pemimpin opini lokal. Ingatlah kembali
bahwa pemimpin opini serupa dengan orang-orang yang diwakilinya. Penelitian
sebelumnya (Bab 9) menyarankan bahwa keserupaan atau homofili meningkatkan
atraksi, kesukaan, dan pengaruh. Seorang penjaga gerbang dapat berupa editor
dari surat kabar atau acara berita lokal. Orang ini menentukan cerita apakah
yang akan dicetak atau disiarkan. Penjaga gerbang mewakili tahap lain dalam
aliran informasi antara media dengan audiens. Sehingga, proses penyebaran dan
pengaruh informasi menjadi lebih rumit daripada yang dijelaskan Teori Dua
Tahap.
Teori Komunikasi
Massa Kontemporer
Dalam dua setengah dekade terakhir telah
terjadi ledakan perkembangan dalam pembangunan teori interpersonal, persuasi,
organisasional, nonverbal, dan komunikasi konteks interkultural. Upaya
pembangunan teori dalam komunikasi masa memiliki pertumbuhan yang sama dengan
konteks lainnya, bermula dengan upaya awal pembangunan teori yang amat
bergantung kepada teori psikologi dan sosiologi, dan berakhir dengan upaya
akhir-akhir ini untuk menyatukan teori-teori komunikasi massa (McQuail, 1987).
Bidang komunikasi massa telah menghasilkan teori yang mampu "berdiri
sendiri" tanpa mengandalkan bidang lain seperti psikologi dan sosiologi
dalam upaya membangun teori. Beberapa teori kontemporer dikembangkan oleh
cendekiawan komunikasi akan disajikan di bawah. Teori pertama, pendekatan
fungsional, telah dikembangkan dari penelitian awal dan terus dipoles hingga
kini.
Teori Pendekatan
Fungsional bagi Komunikasi Massa
Media massa dan komunikasi massa memiliki
banyak fungsi bagi masyarakat kita. Salah satu keunggulan utamanya adalah nilai
hiburannya. Kita pulang ke rumah setelah hari yang melelahkan di sekolah atau
kantor dan menyalakan program komedi televisi, acara kuis, atau drama favorit
kita. Penggunaan utama dari media lainnya adalah memberikan informasi.
Berkendara ke sekolah atau ke kantor, kita menyalakan radio dan mendengarkan
berita terbaru, cuaca, atau skor pertandingan. Atau, kita dapat mendengarkan
program talk show favorit kita untuk mendengar apa yang dipikirkan orang lain
tentang hubungan yang membaik antara Amerika Serikat dan Soviet. Dua cendekiawan,
Lasswell (1948) dan Wright (1960), telah mempelajari fungsi komunikasi massa.
Lasswell mengartikulasikan 3 fungsi komunikasi massa: pengawasan, korelasi,
dan transmisi kultural. Fungsi keempat, yaitu fungsi hiburan,
ditambahkan oleh Wright. Tiga puluh tahun kemudian, 4 fungsi tersebut membangun
dasar bagi pendekatan fungsional komunikasi massa. Baru-baru ini, McQuail
(1987) menambahkan fungsi kelima yang disebut mobilisasi.
Lima Fungsi
Komunikasi Massa
Fungsi pertama, pengawasan
membahas fungsi informasi dan penyediaan berita. Saat kita menyalakan radio
untuk mencari cuaca terkini, laporan lalu lintas, atau harga saham, kita
menggunakan media terutama untuk fungsi pengawasannya. Pada hari Senin, 19
Oktober 1987, bursa saham menciptakan rekor penurunan 508 poin. Jutaan orang
Amerika menyalakan radio dan televisi mereka untuk mendapat informasi mengenai
kejatuhan bursa saham. Pada hari itu di tiap kantor besar Amerika, pegawai
"tertempel" di radio mereka untuk menemukan seberapa banyak saham
perusahaan mereka telah turun. Individu yang tidak memiliki saham membaca
laporan mendalam di surat kabar lokal mengenai pengaruh potensial dari
kehancuran bursa saham terhadap ekonomi Amerika dan dunia.
Fungsi kedua, korelasi membahas
bagaimana media massa memilih, menginterpretasi, dan mengkritisi informasi
tentang lingkungan. Editorial dalam radio dan televisi dan kampanye persuasif
yang menggunakan media adalah contoh utama dari fungsi korelasi. "USA for
America," "Live Aid," "Farm Aid," dan "Hand
Across America" adalah kampanye yang asal muasal dan kemampuan menggalang
dananya distimulasi dan dikembangkan melalui koneksi dengan media. Sumbangan
dana untuk membantu orang-orang yang kelaparan di Ethiopia sebagian besar
distimulasi oleh gambar mengerikan yang datang ke rumah kita melalui televisi.
Banyak kritik politik mengatakan bahwa media, dan bukannya masyarakat Amerika,
adalah yang memilih siapa yang akan menjadi politikus atau pemimpin politik
kita. Mereka menuding banyaknya ulasan media dan informasi terhadap kampanye
dini Gary Hart sebagai sebuah contoh fungsi korelasi media. Jika media tidak
begitu mengekspos kehidupan pribadi Senator hart, mungkin kampanye
presidensialnya tahun 1988 tidak akan keluar dari jalurnya. Bersama dengan
kritik dan pemilihan kejadian, fungsi korelasi dari media juga memberikan
gelar pada individu terpilih. Media massa memilih untuk menyoroti sejumlah
individu yang kemudian menjadi "agung" di mata audiens. Saat media
memilih seseorang untuk disorot, dikejar, dan diadvokasi, maka orang ini muncul
sebagai seorang pemimpin opini. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa
pemimpin opini mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan perilaku kita (lihat
terutama Katz & Lazarsfeld, 1955; Rogers & Shoemaker; 1971).
Fungsi ketiga, transmisi kultural,
merujuk kepada kemampuan media untuk mengkomunikasikan norma, peraturan, dan
nilai dari sebuah masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat ditransmisikan dari
sebuah generasi ke generasi lain, atau dari masyarakat ke pendatangnya.
Transmisi kultural adalah sebuah fungsi pengajaran dari media, yang membawa
banyak model peran sosial ke rumah. Model peran tersebut seringkali terlibat
dalam perilaku yang dipandang sesuai dalam sebuah masyarakatn (perilaku
prososial). Jognston dan Ettema (1986) menyadur acara seperti Mister Roger's
Neghborhood, Sesame Street dan ABC After School Specials sebagai
contoh prigram anak yang berusaha mengajarkan atau mempromosikan perilaku
prososial seperti bersikap sopan, tidak mudah marah, mengatasi situasi baru,
menyelesaikan tugas, peduli, dan bekerjasama. Acara televisi prime-time seperti
Family Ties dan Bill Cosby Show telah disebut sebagai program
yang mempromosikan nilai seperti menghormati otoritas, keharmoniasn keluarga,
dan etika kerja orang Amerika. Seiring orang Amerika umumnya kemudian semakin
sering menonton televisi, perbedaan regional dan subkultural menjadi menurun.
Transmisi kultural yang kuat dari media mengenai pesan "umum" telah
menyebabkan kita berbicara, berpikir, dan berpakaian secara serupa. Pesan umum dan
menyatukan tersebut telah lebih jauh lagi "menghomogenkan" budaya
Amerika dengan mendikte cara "yang seharusnya" kita bagaimana
bertindak.
Fungsi keempat dari komunikasi massa, hiburan,
mungkin adalah fungsi yang paling berpengaruh. Hiburan adalah "Semua
aktivitas yang dirancang untuk mennyenangkan dan, sampai pada tingkat paling
kecil, mencerahkan melalui pertunjukan keberuntungan atau kemalangan orang
lain, [dan] melalui penampilan kemampuan khusus oleh orang lain atau/dan diri
sendiri" (zillmann & Bryantm 1986, h. 303). Komunikasi massa membantu
mengisi waktu senggang kita dengan menyuguhkan kepada kita pesan berisi komedi,
drama, tragedi, sandiwara, dan pertunjukan kemampuan. Fungsi hiburan komunikasi
massa membuat kita mampu lepas dari masalah dan kepentingan sehari-hari kita.
Media memperkenalkan kepada kita aspek kebudayaan, seni, musik, dan tari yang
mungkin tidak secara siap tersedia untuk kita. Saat menyuguhkan pertandingan
olahraga media massa dapat menstimulasi kesenangan pada individu. Media juga
dapat menenangkan kita dengan penyiaran komedi atau acara kebudayaan. Ia dapat
membuat kita nyaman atau membantu kita menghindari ketidaknyamanan (Zillmann,
1982; Zillmann & Bryant, 1985). Fungsi hiburan dari komunikasi massa
memberikan jalan keluar dari kebosanan, menstimulasi emosi kita, mengisi waktu
luang kita, menemani kita, dan menunjukkan kepada kita gambar-gambar,
pengalaman, atau kejadian yang tidak dapat kita hadiri secara langsung.
Walaupun fungsi hiburan media telah sering dikritisi, pemikiran masa kini dari
cendekiawan komunikasi massa mempersilahkan konsekuensi fungsi dari media
hiburan. Memang, Zillmann dan Bryant (1986) mendefinisikan ulang konsep escapism
sebagai "sukses rekreasional" (h. 321). Namun terdapat banyak kritik
yang terus menerus menyatakan bahwa media dan pesannya merendahkan selera, dan
mereduksi seni murni menjadi pop art.
Fungsi kelima McQuail (1987) bagi
komunikasi massa, mobilisasi, merujuk kepada kemampuan media untuk
mempromosikan kepentingan nasional dan perilaku tertentu terutama pada masa
krisis nasional. Sementara fungsi mobilisasi ini mungkin bersifat penting dalam
mengembangkan bangsa dan masyarakat, ia dapat terjadi di mana saja. Kita telah
melihat buktinya di Amerika Serikat pada masa setelah pembunuhan Presiden John
F. Kennedy, atau saat meledaknya pesawat ulang alik Challenger, di mana fungsi
sentral media tidaklah hanya untuk menginformasikan kepada kita, tetapi juga
untuk menasehati, menguatkan, dan mempersatukan kita bersama.
Teori
Agenda-Setting dari Komunikasi Massa
Sejumlah cendekiawan mendeskripsikan agenda-setting
sebagai sebuah fungsi komunikasi massa (contoh, McCombs & Shaw, 1972;
Severin & Tankard, 1988). Yang lain merujuk kepada agenda-setting sebagai
sebuah teori (contoh, Wimmer & Dominick, 1987), sementara massa terkecil
cendekiawan komunikasi merujuknya sebagai sebuah himotesis (MCQuail, 1987).
Apapun anggapan mengenai agenda-setting, konsep tersebut telah menerima
perhatian yang cukup banyak dari pembuat teori komunikasi massa. Contohnya,
akan kami jabarkan di sini. Agenda-setting mendeskripsikan sebuah pengaruh yang
sangat kuat dari media, kemampuan untuk memberitahu kita masalah apakah yang
penting. Masalah-masalah atau individu yang dipilih untuk dipublikasi tersebut
akhirnya menjadi masalah atau individu yang kita pikirkan dan obrolkan. Menurut
teori ini, topik, masalah, dan individu yang kita pikir penting sebenarnya
menjadi penting karena perhatian media yang mereka dapat. Sebagai
contoh, jika media memilih untuk menyoroti sebuah peristiwa tertentu seperti
kehancuran bursa saham di akhir 1987, maka bursa saham menjadi sebuah masalah
penting bagi kita, tidak peduli tingkat perhatian kita terhadapnya sebelum
mendapat perhatian media. Tak lama setelah perhatian media kepada masalah
tersebut, buku yang membahas bursa saham mulai terjual laris di seluruh penjuru
negeri. Tiba-tiba, masyarakat tertarik untuk mengetahu apakah "margin
call" itu. Beberapa entertainer segera menggunakan lawakan dan cerita
tentang keruntuhan bursa saham dalam penampilan mereka. Agenda-setting telah
menjadi subyek perhatian dari analis media dan kritikus untuk beberapa tahun.
Pada tahun 1922, kolumnis surat kabar Walter Lippman menyatakan bahwa media
membantu meletakkan "gambaran dalam benak kita" (Wimmer &
Dominick, 1987, h. 385). Namun, sebuah studi oleh McCombs dan Shaw (1972)
adalah yang menstimulasi rombongan penyelidikan empiris tentang fungsi
agenda-setting dari media massa.
Menyelidiki fungsi agenda-setting dari
media massa pada kampanye presidensial di tahun 1968, McCombs dan Shaw (1972)
mencoba menemukan hubungan antara apa yang menjadi masalah penting menurut
pemilih di sebuah komunitas, dengan konten aktual dari pesan media yang
digunakan selama kampanye. Menggunakan teknik wawancara, peneliti menyimpulkan
bahwa media massa memiliki pengaruh dominan pada apa yang dianggap pemilih
sebagai masalah utama dari kampanye. Wimmer dan Dominick (1987) melaporkan
bahwa pada tahun-tahun terakhir, agenda-setting makin mendapat perhatian dari
para pembuat teori komunikasi massa. Sebagai tambahan, fokus dari penelitian
ini adalah memperluas dari perhatian terhadap kampanye politik menuju
masalah-masalah meliputi sejarah, periklanan, berita luar negeri, dan medis.
Banyak penelitian yang sebelumnya
menyelidiki fungsi agenda-setting dari media ternyata menghasilkan sebuah teori
agenda-setting (Williams, 1985). Memang, Williams berpendapat bahwa metode
hipotetik-deduktif, sebuah asas tentang pendekatan kausalitas, adalah sebua
metode yang digunakan untuk membangun sebuah Teori Agenda-Setting dari
komunikas massa (lihat Bab 3 dan Apendiks untuk keterangan lebih lanjut
mengenai metode hipotetik-deduktif). Sebaliknya, McQuail berpendapat bahwa,
mengesampingkan penelitian terbaru pada agenda-setting, tidak terdapat bukti
yang cukup untuk menunjukkan sebuah hubungan kausalitas antara tingkat
pentingnya sebuah masalah yang diletakkan oleh media dan pentingnya masalah
tersebut bagi publik. Ia berpendapat bahwa, setidaknya untuk sementara, Teori
Agenda-Setting masih tetap "Berstatus ide yang masuk akal tapi belum
terbukti" (McQuail, 1987, h. 276).
Sebuah Teori
Komunikasi Interpersonal Termediasi
Beberapa pembuat teori komunikasi
sekarang meniadakan pengaruh komunikasi massa terhadap komunikasi
interpersonal, atau sebaliknya. Persatuan dari komunikasi massa dan
interpersonal bukanlah sebuah fenomena baru. Seperti Katz dan Lazarsfeld
(1955), peneliti lain telah menyadari peran individu dalam proses komunikasi
massa. Cathcart dan Gumpert (1983) menyarankan bahwa media memainkan peran yang
signifikan dalam pengembangan gambaran diri seseorang. Gambaran diri dipandang
sebagian besar bergantung kepada media. Teori Komunikasi Interpersonal
Termediasi mencoba mempersatukan penelitian komunikasi interpersonal dan
komunikasi massa dalam pembangunan teori. Cathcart dan Gumpert berpendapat
bahwa media tidaklah sinonim dengan komunikasi media. Komunikasi massa adalah
"komunikasi yang relatif seketika melewati waktu dan ruang kepada kelompok
yang besar dan heterogen" (Cathcart & Gumpert, 1986, h. 90).
Fokus penting dari teori ini terdiri dari
penggunaan sosial dan personal yang dimiliki masyarakat dalam komunikasi massa.
Cathcart dan Gumpert berpendapat bahwa istilah media tidak seharusnya
dipisahkan dari bentuk komunikasi manusia lainnya seperti intrapersonal,
interpersonal, kelompok, atau publik. Saat kita berbicara dengan seorang teman
di telepon, kita mengunakan sebuah medium untuk membuat interaksi kita
terlaksana. Saat kita berinteraksi dengan orang lain pada sebuah radio CB, kita
menggunakan sebuah medium untuk memfasilitasi komunikasi interpersonal. Saat
kita menggunakan sebuah modem dan komputer untuk masuk ke server seperti
CumpuServe, tidakkah kita terlibat dalam komunikasi kelompok kecil termediasi?
Cathcart dan Gumpert (1983) mengklaim: (1) Beberapa situasi komunikasi
interpersonal membutuhkan media; (2) Bersama variabel-variabel lain yang
kompleks, media mempengaruhi sikap dan perilaku; (3) Konten media mencerminkan
perilaku interpersonal dan berisi proyeksi dari perilaku tersebut; dan (4)
Perkembangan dari konsep diri seorang individu bergantung pada media (h. 268).
Media dan
Penciptaan Gambaran Diri
Pada inti dari teori Carthcart dan
Gumpert terdapat 2 premis. Yang pertama menyarankan bahwa media mengubah
hubungan antar individu. Yang kedua dan mungkin yang paling penting, adala
bahwa gambaran diri seseorang sebiagian besar bergantung pada media.
Alasan Cathcart dan Gumpert adalah jika gambaran diri seorang individu dibentuk
melalui interaksi interpersonal dan interaksi interpersonal berhubungan erat
dengan media, maka pembuat teori komunikasi harus mencurahkan perhatian lebih
kepada efek dari media terhadap gambaran diri. Semenjak masih kecil, kita
mendengar atau melihat gambar yang diproyeksikan media sebagai sesuatu yang
"sesuai," "standar," "normatif," atau
"sempurna." Kita kemudian membandingkan gambaran tersebut dengan
persepsi diri kita. Yang lebih sering terjadi, persepsi diri seorang individu
tidak sebanding dengan gambaran media. Pembuat iklan telah belajar untuk
mengasosiasikan produk dengan gambaran media mengenai kesempurnaan. Individu
yang dilukiskan dalam iklan seringkali memiliki karakteristik yang diajarkan
kepada kita untuk dihargai. Seperti yang dikatakan Cathcart dan Gumpert (1986),
"Semakin mereka memproyeksikan sebuah gambar, semakin kita melihat diri
kita di dalamnya. Semakin kita melihat diri kita di dalamnya, semakin kita berusaha
menghasilkan sebuah konsep diri yang sama dengan gambar tersebut" (h. 97).
Konsep diri tidak lagi bergantung kepada interaksi langsung, tapi amat
dikendalikan oleh komunikasi termediasi. Fotografi, video musik, radio, gambar
bergerak, dan televisi memainkan bagian signifikan dalam perkembangan dan
maintenance dari gambaran diri seseorang. Cathcart dan Gumpert mengatakan bahwa
cendekiawan komunikasi interpersonal seharusnya menggabungkan konsep gambaran
termediasi ke dalam upaya pembangunan teori mereka.
Komunikasi
Interpersonal Termediasi
Cathcart dan Gumpert menawarkan istilah
"komunikasi interpersonal termediasi" untk merujuk kepada semua
situasi yang menggunakan teknologi mediasi untuk menggantikan interaksi
langsung." Percakapan melalui telepon, pertukaran kaset audio dan
videotape, surat electronik, telekonferens termediasi antar individu atau
kelompok, interaksi interpersonal melalui komputer den modem, t-shirt, dan
stiker di bumper mobil adalah "media" yang kita gunakan untuk
memfasilitasi interaksi interpersonal. Komunikasi interpersonai tersimulasi
media merujuk kepada saat audiens merasa mereka mengenal secara personal
orang yang melakukan penampilan, seperti mereka mengenal temannya. Perhatian
konstan pada suara dan gerakan seorang aktor menggiring audiens untuk membuat
penlaian personal tentang aktor tersebut seperti mereka membuat penilaian
tentang teman mereka. Faktanya, banyak orang merasa mereka "mengenal"
personel media favorit mereka lebih dari mereka mengenal temannya. Setelah berulang
kali menonton David Letterman, sebagai contoh, kita mulai percaya bahwa kita
sebenarnya "mengenal" dia, walaupun kita hanya mengalami ilusi dari
sebuah hubungan interpersonal dengannya. Disc jockey atau pembawa acara
televisi yang berkemampuan biasanya menggunakan perilaku komunikasi yang
membantu membangun hubungan ini.
Salah satu bentuk komunikasi
interpersonal termediasi yang menjembatani komunikasi interpersonal termediasi
dan tersimulasi media adalah media telepartisipatori. Medium
telepartisipatori paling familiar adalah program radio di mana penelepon dan
pembawa acara berkomunikasi satu sama lain. Beberapa orang menelepon pembawa
acara favoritnya setiap hari atau setiap minggu, dan bahkan menceritakan
komunikasi tersebut dalam interaksi dengan teman-teman mereka sebenarnya (lihat
Avery & Ellis, 1979). Layanan telepon kelompok seperti Talk-About adalah
seperti sebuah pesta di mana seseorang dapat berkomunikasi dengan beberapa
orang sekaligus. Dengan membayar, Anda dapat menelepon salah satu layanan seperti
itu dan berkomunikasi dengan orang yang telah menelepon lebih dahulu. Surat
kabar melaporkan bahwa beberapa orang remaja menggunakan layanan telepon
tersebut terlalu sering sehingga orang tua mereka menerima tagihan sampai
ribuan dolar setiap bulan. Popularitas dan penyalahgunaan pelayanan tersebut
telah menstimulasi upaya mendesak FFC supaya meregulasinya. Sebuah studi yang
dilakukan oleh tim penelitian mahasiswa pra-sarjana (scholder, Lalumia, &
Murphy, 1987) menemukan bahwa banyak penelepon lebih memilih interaksi
termediasi seperti ini daripada kontak interpersonal langsung. Penelitian oleh
Avery dan McCain (1982) menemukan bahwa, untuk banyak individu, interaksi
telepartisipatori termediasi menggantikan komunikasi interpersonal langsung.
Teori Cathcart dan Gumpert
mengindikasikan bahwa tidak memperhatikan kemampuan mempengaruhi yang dimiliki
media saat kita mengembangkan teori komunikasi manusia adalah suatu
disfungsional. Pembuat teori harus menggabungkan konsep tentang media ke dalam
upaya mereka membangun teori komunikasi intrapersonal, interpersonal, kelompok,
dan publik.
Teori Kegunaan dan
Gratifikasi
Sebuah teori komunikasi massa yang
diteliti secara lengkap, namun kontroversial, adalah Teori Kegunaan dan
Gratifikasi. Beberapa pembuat teori komunikasi kontemporer berpendapat bahwa
tubuh dari penelitian berlabel kegunaan dan gratifikasi "telah membuat
kontribusi penting dalam pemahaman kita mengenai proses komunikasi massa"
(Swanson, 1987, h. 237). Kritik terbaru telah menantang teori tersebut. Teori
Kegunaan dan Gratifikasi mencoba menyelidiki mengapa masyarakat menggunakan
media massa. Teori ini berusaha menjelaskan kegunaan dan fungsi
media untuk individu, kelompok, dan masyarakat secara umum.
Rubin (1985) menyatakan bahwa Teori
Kegunaan dan Gratifikasi berdasar pada sebuah "paradigma fungsional dari
pengaruh sosial" (h. 202). Semenjak pendekatan fungsional menyelidiki
hubungan antara media, individu, dan masyarakat, ia merepresentasikan perspektif
sistem, sebuah paradigma pembangunan
teori yang dijelaskan dalam Bab 3. Rubin berpendapat bahwa komunikasi massa
merepresentasikan sebuah sistem atau subsistem sosial dari masyarakat. Sebuah kepercayaan dalam
pendekatan sistem adalah bahwa sebuah perubahan dalam salah satu bagian sistem
akan menyebabkan sebuah perubahan pada bagian lain dari sistem. Banyak klaim
menyatakan VCR (video cassette recorder) rumahan telah mengubah pola menonton
televisi. Sebagai contoh, sebuah konsekuensi dari merekap program televisi
dalam videotape adalah banyak orang menekan fast forward pada bagian
iklan. Fenomena ini telah menyebabkan pengiklan dan agensi periklanan memeriksa
ulang peletakan dan format iklan yang ditampilkan dalam program. Lima fungsi komunikasi massa yang dijelaskan
sebelumnya mewakili fungsi dari konten media massa. Fungsi konten
tersebut tidak secara lengkap mendeskripsikan bagaimana seorang audiens menggunakan
konten tersebut. Analisis bagaimana seorang anggota audiens menggunakan media
dijelaskan dengan paling baik dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi.
Asumsi Teori
Kegunaan dan Gratifikasi
Pada inti Teori Kegunaan dan Gratifikasi
terletak asumsi bahwa anggota audiens secara aktif mencari media massa untuk
memenuhi kebutuhan individualnya. Sebagai contoh, Rubin (1979) menemukan 6 alasan mengapa anak-anak dan
remaja menonton televisi: untuk pembelajaran, untuk mengisi waktu luang, untuk
menemani dirinya, untuk melupakan atau melarikan diri, untuk kesenangan, dan
untuk relaksasi. Menonton televisi untuk mengisi waktu luang dan kesenangan dan
relaksasi muncul sebagai kegunaan paling penting dari televisi bagi partisipan
Rubin. Asumsi lain dari Teori Kegunaan dan Gratifikasi adalah bahwa audiens
menggunakan media untuk memenuhi harapan. Sebagai contoh, Anda mungkin menonton
program science fiction seperti Star Trek: The Next Generation untuk
membantu Anda membayangkan masa depan dan melarikan diri dari tekanan
sehari-hari. Asumsi ketiga dari teori ini adalah audiens secara aktif memilih
media dan kontennya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dua jenis pemirsa televisi
telah teridentifikasi. Jenis pertama adalah pencari informasi yang menonton
televisi untuk penggunaan ritualitas. Orang tersebut adalah seorang
"pemirsa TV pada umumnya, yang menjunjung tinggi televisi" (Rubin,
1984, h. 68). Pemirsa ini menggunakan televisi sebagai sebuah pengalihan. Jenis
pemirsa kedua adalah pencari hiburan-informasi yang menonton televisi untuk
kegunaan instrumental. Orang tersebut memiliki kesukaan terhadap sebuah
atau beberapa program televisi. ndividu ini menggunakan konten media umumnya
sebagai informasi. Orang ini lebih selektif dan berorientasi tujuan saat
menonton televisi dan tidak merasa televisi merupakan sesuatu yang penting.
Rubin (1984) berpendapat bahwa penggunaan televisi ritualitas
merepresentasikan pengalaman menonton yang lebih penting untuk anggota
audiens, sementara penggunan televisi instrumental mewakili pengalaman keterlibatan
bagi penonton.
Rubin (1979) merancang sebuah kuisioner
yang disebut Instrumen Motif Menonton Televisi untuk menemukan alasan
mengapa masyarakat menonton televisi. Kerjakan survei pada Bagan 11.1 untuk
mengetahui alasan utama Anda menonton TV.
Asumsi keempat dari Teori Kegunaan dan
Gratifikasi adalah anggota audiens sadar dan dapat mengatakan motif mereka dalam
menggunakan komunikasi massa. Studi yang menyelidiki bagaimana individu
menggunakan media untuk gratifikasi umumnya menggunakan pengukuran laporan
diri, kuisioner yang meminta partisipan untuk memberitahu motif mereka
menggunakan media massa. Instrumen Motif Menonton Televisi adalah salah
satu kuisioner seperti itu. Asumsi kelima dan terakhir dari teori ini adalah
motif tersembunyi dan gratifikasi penggunaan media harus lebih dipahami sebelum
dilakukan upaya untuk menyelidiki signifikansi kultural pada konten media
(Katz, Blumler, & Gurevitch, 1974; Rubin, 1985, 1986). Sebelum kita
berusaha menentukan hasil positif dan negatif media terhadap masyarakat, ktia
harus lebih mempelajari penggunaan media oleh masyarakat dan bagaimana
penggunaan media menggratifikasi kebutuhan individual.
Tujuan Teori
Kegunaan dan Gratifikasi
Pembuat teori komunikasi memiliki 3
tujuan dalam mengembangkan penelitian kegunaan dan gratifikasi. Pertama, mereka
berharap dapat menjelaskan bagaimana individu menggunakan komunikasi massa
untuk menggratifikasi kebutuhannya. Mereka berusaha menjawab pertanyaan: Apa
yang dilakukan masyarakat dengan media (Rubin, 1985)? Tujuan kedua adalah untuk
menemukan motif tersembunyi dari penggunaan media seorang individu. Mengapa
seseorang terburu-buru kembali ke rumah (atau terjaga hingga larut malam)
untuk menonton berita lokal di televisi sementara orang lain lebih memilih
membaca surat kabar saat sarapan atau setelah makan malam? Mengapa beberapa
orang hanya menonton film dari saluran HBO? Itulah contoh beberapa pertanyaan
yang dicoba dijawab oleh pemeluk Teori Kegunaan dan Gratifikasi dalam
penelitian mereka. Tujuan ketiga dari pembangunan teori ini adalah untuk
mengidentifikasikan konsekuensi positif dan negatif dari penggunaan
media seorang individu. Untuk tujuan ketiga inilah muncul aspek sistem
dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi. Pendekatan sistem bagi pembangunan teori
komunikasi berusaha mengidentifikasikan hubungan antara sistem dan
subsistemnya. Dalam Teori Kegunaan dan Gratifikasi, diselidiki hubungan antara
individu dan media massa, konten media, sistem sosial, saluran alternatif
komunikasi (seperti teman), dan konsekuensi pilihan media.
Sejarah
Perkembangan Penelitian Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Upaya untuk menemukan pola penggunaan
media telah ada setidaknya hampir 50 tahun. Pada tahun 1940, peneliti mulai
mengeksplorasi pola pendengar radio melalui perspektif kegunaan dan gratifikasi
(contoh, Lazarsfeld, 1940). Penelitian awal teori ini menyelidi beragam topik
mulai dari penggunaan komik oleh anak-anak sampai bagaimana rasanya tidak
terdapat surat kabar ketika terjadi pemogokan surat kabar. Studi awal tersebut
menggunakan pertanyaan terbuka dalam survei dan dalam wawancara personal untuk
mengeksplorasi penggunaan media massa. Teknik penelitian kuantitatif digunakan
untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Peneliti awal umumnya mengacuhkan
hubungan antara kebutuhan psikologis dan motif penggunaan media (Rubin, 1985).
Pada tahun 1960an dan awal 1970an peneliti menggarisbawahi penggunaan televisi
dibanding radio atau media cetak. Minat bersar terhadap faktor psikologis dalam
penggunaan media juga muncul pada periode ini. Akhirnya, ketergantungan pada
teknik pengumpulan data dan analisis kuantitatif juga nampak (McQuail, 1984).
McQuail (1984) dan Rubin (1986)
menyarankan bahwa upaya penelitian sekarang dalam Teori Kegunaan dan
Gratifikasi dapat diglongkan dalam beberapa kelompok besar. Pertama, banyak
studi telah mengeksplorasi bagaimana anak-anak menggunakan media. Sebuah
pendekatan kegunaan dan gratifikasi untuk memahami komunikasi politik telah
muncul. Barisan perolehan ketiga telah mengeksplorasi karakteristik dari pengalaman
audiens, interpretasi audiens dan aktivitas audiens. Beberapa studi
menyelidiki penggunaan pencarian informasi dari media. Memahami motif
audiens dari penggunaan media telah menstimulasi banyak penelitian. Barisan
peneliti lain memeriksa kondisi sosial dan psikologis dari penggunaan media.
Studi-studi tersebut mempelajari bagaimana faktor seperti pandangan keluarga,
lingkungan, personaliti, interaksi interpersonal, dan aktivitas sosial
mempengaruhi konsumsi media. Pada akhirnya, upaya peneliti yang bertujuan pada
pengembangan teori dan membuat model proses kegunaan dan gratifikasi sekarang
sedang dalam pembangunan (McQuail, 1984).
Contoh Penelitian
Teori Kegunaan dan Gratifikasi
Salah satu kepercayaan dalam Teori
Kegunaan dan Gratifikasi adalah audiens bersikap aktif bukannya pasit terhadap
penggunaan media mereka. Individu memilih secara aktif media komunikasi yang
mereka hadiri. Levy dan Windahl (1984) mengidentifikasikan 3 jenis aktivitas
audiens. Jenis aktivitas pertama, disebut preaktivitas, dilakukan oleh
individu yang dengan mandiri mencari media tertentu untuk memuaskan kebutuhan
intelektual mereka. Sebagai contoh, penonton tertentu dengan mandiri memilih
liputan berita untuk gratifikasi tersebut. Jenis aktivitas audiens kedua
disebut duraktivitas, berurusan dengan tingkat perhatian psikologis atau
keterlibatan anggota audiens dalam sebuah pengalaman menonton televisi. Jenis
aktivitas ini dapat dipahami dengan baik dari orientasi konstruktivis
(lihat Teori Konstruksi Pesonal, Bab 3). Fokus dari aktivitas ini adalah pada
memperkirakan bagaimana invidiu menginterpretasi dan memahami pesan termediasi.
Komprehensi, pengorganisaian, dan struktur pesan media menuntun kepada gratifikasi
intelektual dan emosional tertentu bagi penonton. Mencoba menebak plot atau
akhir dari sebuah program drama di televisi adalah salah satu contoh penggunaan
duraktivitas media. Jenis aktivitas audiens ketiga, postaktivitas,
membahas perilaku audiens dan penggunaan pesan setelah terkena terpaan pesan
termediasi. Orang-orang yang terlibat dalam postaktivitas mengikuti sebuah
pesan termediasi karena mereka merasa informasi tersebut mungkin memiliki nilai
personal atau interpersonal. Individu yang secara aktif mencari berita televisi
sebagai konten untuk komunikasi interpersonal seperti "pembicaraan
kecil" telah menunjukkan perilaku postaktivitas audiens.
Dalam sebuah studi tentang pengguna
televisi Swedia, Levy dan Windahl (1984) menemukan bahwa orang yang menonton
berita TV bervariasi pada tingkat apakah mereka dapat digolongkan sebagai
pengguna aktif. Hasil dari studi ini mendukung asumsi audiens aktif. Partisipan
mampu mendeskripsikan bagaimana media tertentu memenuhi kebutuhan tertentu.
Peneliti juga menemukan bahwa motivasi utama menonton berita TV adalah untuk
mendapat informasi tentang dunia, bukannya sebagai pengalihan.
Rubin (1983) merancang sebuah studi untuk
mengeksplorasi motivasi, perilaku, sikap, dan pola interaksi penonton dewasa.
Studi tersebut juga berusaha mengeksplorasi apakah motivasi pengguna TV dapat
memprediksi konsekuensi perilaku dan sikap dari penggunaan televisi. Lima
motivasi utama menonton televisi diselidiki: menghabiskan waktu
luang/kebiasaan, informasi, hiburan, pertemanan dan pelarian. Hubungan motivasi
menonton televisi terkuat ditemukan antara menghabiskan waktu luang dengan
pertemanan dan pelarian. Nampaknya orang-orang menonton televisi sebagai sebuah
mekanisme pelarian dan untuk menemani dirinya. Mereka melakukan hal tersebut
untuk menghabiskan waktu luang atau hanya sebagai sebuah kebiasaan. Dua jenis
penonton juga terdefinisikan dalam studi ini. Jenis pertama menonton TV untuk
menghabiskan waktu dan merupakan kebiasaan. Jenis kedua menonton TV untuk
mencari informasi atau sebagai alat pembelajaran. Jenis penonton tersebut
konsisten dengan pengguna televisi ritualitas dan instrumental dari
Ruben yang telah didiskuikan sebelumnya.
Jenis Penggunaan Media sebagai Gaya Hidup. Sebuah studi ditujukan kepada beberapa faktor sosial dan psikologi
yang diasosiasikan dengan pola penggunaan media dari audiens. Donohew,
Palmgreen, dan Rayburn (1987) menguji sebuah sampel acak dari orang yang
berlangganan televisi kabel. Melalui telepon dan kuisioner surat, mereka
mengumpulkan data demografis (umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan,
status perkawinan), gaya hidup, dan sikap. Partisipan juga menyediakan
informasi tentang perilaku sosial, politik, ekonomi, budaya, dan komunikasi
mereka. Peneliti juga bertanya tentang kebutuhan stimulasi, gratifikasi yang
dicari dari TV kabel, kepuasan terhadap tawaran TV kabel, lama menonton TV
kabel tiap hari, dan jumlah surat kabar dan majalah langganan. Empat jenis gaya
hidup muncul. Jenis I dilabeli Pengurus Rumah yang Tidak Terlibat.
Individu ini umumnya wanita, paruh baya, rendah dalam pendidikan dan
pendapatan. Anggota jenis ini memiliki kebutuhan terhadap stimulasi yang paling
rendah. Mereka tidak menggunakan media untuk tujuan informasi, tetapi untuk
menemaninya dan menghabiskan waktu. Menurut klasifikasi Ruben (1983, 1984),
mereka nampaknya mewakili pengguna media ritualitas. Jenis individu
kedua dilabeli Aktivis yang Sering Bepergian. Secara demografis, orang
ini wanita (tapi tidak sebanyak Jenis I), lebih muda, berpendidikan, memiliki
pendapatan yang cukup, dan tidak terlalu suka menikah. Aktivis yang sering
bepergian ini memiliki kebutuhan stimulasi yang paling tinggi di antara 4
jenis. Mereka suka mendapat informasi dan biasanya pengguna media cetak. Mereka
tidak menonton televisi terlalu lama dan paling sedikit tergratifikasi oleh TV
kabel. Donohew, Palmgreen dan Rayburn berspekulasi bahwa gaya hidup aktif dari
Jenis II membuat mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk menonton TV. Jenis
individu ketiga adalah Aktivis yang Tertahan. Individu ini lebih tua dan
memiliki tingkat pendidikan yang tertinggi. Lebih dari setengahnya merupakan
wanita, dan mereka seringkali sudah menikah dan memiliki pendapatan yang
tinggi. Mereka memiliki kebutuhan terhadap sensasi yang rendah namun kebutuhan
stimulasi intelektual yang tinggi. Mereka menunjukkan kebutuhan informasi yang
tinggi dan memandang dirinya sebagai pemimpin opini. Mereka adalah pengguna
berat media cetak dan televisi, terutama untuk tujuan informasi. Pola
penggunaan media mereka mengikuti pengguna instrumental Rubin (1983,
1984). Jenis pengguna terakhir yang teridentifikasi disebut sebagai Pendaki
Kelas Pekerja. Orang ini sebagian besar pria, rendah dalam pendidikan dan
pendapatan, dan paruh baya. Kebanyakan telah menikah. Donohew, Palmgreen, dan Rayburn
(1987) mengatakan bahwa orang ini "kebanyakan dicirikan sebagai pria chauvinistic
dari kelas pekerja kerah biru atau kerah putih tingkat rendah" (h. 270).
Pendaki Kelas Pekerja bersifat ambisius dan percaya diri. Mereka tidak terlibat
dalam gaya hidup aktivis. Mereka memiliki kebutuhan stimulus intelektual yang
rendah. Mereka adalah yang tertinggi dalam keterpaan televisi dan kepuasan
dengan TV kabel. Mereka cukup rendah dalam penggunaan media cetak. Menurut
taksonomi Rubin, mereka akan diklasifikasikan lebih mendekati pengguna media
ritualitas daripada instrumental. Hasil dari studi ini membantu menjelaskan
pemahaman kita tentang banyak variabel gaya hidup yang mempengaruhi penggunaan
media massa. Sebagai tambahan, studi menambahkan dukungan terhadap teori pola
penggunaan ritualitas dan instrumental dari Rubin.
Kritik bagi Teori
Kegunaan dan Gratifikasi
Semenjak pemunculannya, Teori Kegunaan
dan Gratifikasi telah mendapat popularitas luas di antara pembuat teori,
peneliti, dan praktisi komunikasi massa. Teori tersebut juga menerima berbagai
kritik. Blumler (1979) dan Windahl (1981) memberikan kritik kuat saat mereka
menyarankan kegunaan dan gratifikasi tidak merepresentasikan sebuah teori pun.
Kritik tersebut menyebut kegunaan dan gratifikasi adalah sebuah payung konsep
yang di dalamnya terdapat beberapa teori. McQuail (1984) berpendapat bahwa
tidak adanya sebuah teori pemersatu telah menuntun kepada penyalahgunaan metode
perolehan empiris. Tujuan sosial dan politis juga telah muncul karena Teori
Kegunaan dan Gratifikasi. Dasar teori dalam paradigma fungsional telah
ditantang. Mc Quails berpendapat bahwa fungsionalisme telah memaksa seorang
peneliti untuk menggunakan model konservatif dari sistem sosial. Pandangan
konservatif ini juga meningkatkan kemungkinan media massa akan digunakan untuk
memanipulasi masyarakat. Terdapat pendapat bahwa manipulator media akan segera
bergerak dari pengetahuan "mengapa masyarakat menyukai apa yang mereka
dapat" menjadi "masyarakat mendapat apa yang mereka suka"
(McQuail, 1984, h. 184). Ini akan mereduksi penggunaan pengetahuan baru tentang
ketergantungan media yang ditemukan melalui banyak upaya penelitian tersebut.
Rubin (1985) menyatakan penelitian motif audiens kegunaan dan gratifikasi telah
terlalu dikotak-kotakkan dalam budaya atau kelompok demografis tertentu. Ini
telah menggagalkan sintesis dan integrasi hasil penelitian, aktivitas yang
penting bagi pembangunan teori. Ia juga berpendapat bahwa terdapat terlalu
banyak makna berbeda yang diasosiasikan dengan istilah "motif
audiens," "kegunaan," dan "gratifikasi," sehingga
telah memperlambat pemersatuan perkembangan teoritis pada bidang ini. Pada
akhirnya, Teori Kegunaan dan Gratifikasi dan penelitiannya telah dikritik pada
dasar metodologisnya. Kuisioner laporan diri biasanya digunakan dalam studi
kegunaan dan gratifikasi. Seperti penyelidikan komunikasi lainnya, reliabilitas
dan validitas data laporan diri selalu dipertanyakan. Sebagai contoh,
beberapa kritikus percaya bahwa individu tidak dapat merespon secara akurat
pada pertanyaan tentang perasaan dan perilaku mereka sendiri. Namun kritik ini
telah dibantah melalui penggunaan instrumen yang telah dinilai reliabel dan
valid secara a priori (lihat Apendiks untuk diskusi mengenai
reliabilitas dan validitas).
Pendekatan Aturan
dalam Komunikasi Massa
Lull (1980a, 1980b, 1982) telah
menggunakan pendekatan aturan untuk menyelidiki penggunaan media dan aktivitas
komunikasi interpersonal di dalam rumah. Lull dan yang lainnya (contoh, Fry
& McCain, 1980; Wolf, Meyer, & White, 1982) berpendapat bahwa paradigma
aturan komunikasi memberikan sebuah jalan untuk memecahkan masalah tentang
pembangunan teori dalam komunikasi massa.
Model Berdasarkan Aturan dan Aktivitas Media
Lull menyatakan bahwa faktor kehendak
bebas manusia, pilihan, waktu, dan beragam konteks komunikasi membuat sulitnya
pengukuran dan perkiraan aktivitas media masyarakat. Model tradisional
berdasarkan aturan telah berguna untuk memandu upaya pembangunan teori dalam
memahami kebiasaan audiens konsumer dan aktivitas politis, tetapi model sebab
dan efek dan teknik pengukuran kuantitatif dari pendekatan berdasarkan aturan
memiliki kemampuan terbatas untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku
interaksi kompleks yang berhubungan dengan media seperti pola menonton televisi
dalam keluarga. Sedangkan pada konteks lain, perspektif aturan telah muncul
sebagai sebuah paradigma alternatif untuk memandu cendekiawan komunikasi massa
dalam upaya pembangunan teori mereka. Cendekiawan-cendekiawan tersebut
berpendapat bahwa aturan komunikasi tidak hanya terdapat dalam interaksi
langsung (face-to-face) tetapi juga antar bagian dari sebuah sistem
simbol termediasi. Ingat kembali diskusi awal kita pada Bab 3 bahwa aturan
komunikasi dapat beragam mulai dari aturan khusus yang dibuat oleh 2 orang atau
sebuah unit keluarga sampai aturan umum yang dianggap pantas dan normatif bagi
keseluruhan sebuah kebudayaan atau masyakat.
Teori dari Lull
tentang Media Massa dan Perilaku Audiens Berdasarkan Aturan
Perspektif aturan memandang penggunaan
komunikasi massa sebagai sebuah aktivitas pemilihan interaktif. Paradigma ini
merepresentasikan sebuah alternatif bagi penjelasan probabilitas, sebab dan
akibat, yang berdasarkan aturan untuk aktivitas komunikasi yang berhubungan
dengan media. Lull (1982) menyatakan bahwa pendekatan aturan dalam komunikasi
dapat diaplikasikan secara menguntungkan untuk mempelajari masalah seperti efek
televisi pada anak-anak, kegunaan dan gratifikasii, fungsi agenda-setting dari
media, dan cara masyarakat mengkonstruksi waktu senggang mereka. Aturan
aktivitas komunikasi massa dapat dipelajari baik pada tingkat mikro maupun
makro. Pada tingkat mikro, kita akan mempelajari bagaimana unit audiens
yang kecil seperti keluarga menggunakan media. Dalam konteks ini, pembuat teori
komunikasi massa akan mempelajari hubungan anggota audiens satu dengan yang
lain saat mereka menonton televisi, mendengarkan siaran radio, atau mengikuti
bentuk lain media massa. Pada tingkat makro, kita dapat mempelajari perilaku
seluruh masyarakat atau kebudayaan yang diasosiasikan dengan penggunaan media.
Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memeriksa konten media sebuah budaya.
Siaran radio dan TV dapat dipelajari untuk menentukan tema dominan dari pesan
media dalam budaya tersebut.
Aturan Menonton TV
Keluarga
Banyak dari kita ingat akan aturan dalam
keluarga kita tentang perilaku menonton televisi yang sesuai. Sebagai contohnya
adalah seberapa lama Anda diperbolehkan menonton TV setiap hari, apa jenis
program yang boleh Anda tonton, anggota keluarga mana yang memilih tayangan
mana yang akan ditonton keluarga, dan perilaku apa yang dapat (atau tidak
dapat) Anda lakukan selama jam menonton keluarga. Salah satu penulis ingat
dengan jelas bahwa berteriak ke saudaranya tidak diperbolehkan selama jam
menonton TV keluarga. Jika Anda terlibat dalam "pelanggaran aturan
berperilaku" tersebut, Anda akan dimarahi oleh orang tua. Dalam beberapa
keluarga, atura penggunaan media keluarga dengan jelas diutarakan untuk kita.
Berapa kali Anda ingat contoh perilaku media berdasarkan aturan seperti
"Tidak boleh menonton TV setelah pukul 10 malam," atau "Tidak
boleh menonton TV sampai PR-mu selesai!" Aturan lain tidak diutarakan
secara eksplisit tetapi tetap jelas bagi kita. Beberapa peraturan
"dipelajari" melalui mengamati perilaku anggota keluarga. Salah satu
aturan komunikasi yang berhubungan dengan menonton TV dan kita pelajari melalui
observasi adalah,"Saat menonton TV dengan anggota keluarga, tidak boleh
mengganti saluran sebelum meminta ijin terlebih dahulu."
Lull (1982) mengidentifikasi 3 kelas
aturan perilaku menonton televisi dalam keluarga. Aturan kebiasaan
adalah aturan yang biasanya tidak dapat dinegisoasikan, seringkali dicanangkan
oleh mereka yang memiliki otoritas, dan memiliki konsekuensi negatif (hukuman)
jika dilanggar. Aturan kebiasan biasanya membahas tentang jumlah, lama, atau
konten menonton TV yang diperbolehkan dalam sebuah keluarga.
Aturan parametris digunakan untuk mendeskripsikan pola tindakan yang dianggap sesuai
dalam batasan yang disetujui bersama. Aturan parametris tersebut seringkali,
tapi tidak selalu, dinyatakan secara verbal. Seperti aturan kebiasaan, aturan
parametris biasanya didikte oleh seorang sosok otoritas dalam keluarga.
Perbedaan utama antara aturan kebiasaan dan parabetris adalah aturan parametris
masih dapat dinegosiasikan. Dengan kata lain, aturan parametris memberikan kita
kesempatan untuk memilih dari serangkaian perilaku yang dapat diterima. Lull
menyatakan negosiasi pemilihan program TV atau waktu menonton TV sebagai contoh
aturan parametris dari perilaku keluarga yang berhubungan dengan TV. Contohnya,
sebuah keluarga mungkin menyukai program informasi yang dirancang untuk
mendidik kemampuan akademik atau sosial anak-anak. Jika sebuah program dengan
sifat ini ditayangkan di televisi pada suatu sore, seorang anak dapat
bernegosiasi sehingga seluruh keluarga akan menonton program itu. "Boleh
bicara hanya selama iklan" adalah contoh lain aturan parametris yang
mempengaruhi perilaku menonton televisi keluarga. Lull menyatakan bahwa
perbedaan utama antara aturan kebiasaan dan parametris dari menonton TV
terletak pada tingkat sejauh mana aturan dapat dinegosiasikan. Dengan
aturan kebiasaan, orang tua dan saudara yang lebih tua dapat mencangkan aturan
yang tidak dapat dinegosiasikan. Aturan parametris lebih dapat
dinegosiasikan.
Jenis aturan ketiga diidentifikasikan
Lull dengan istilah peraturan taktis. Peraturan ini digunakan untuk
mencapai beberapa tujuan personal atau interpersonal. Aturan taktis diciptakan
oleh individu, kelompok, atau budaya umumnya untuk menyelesaikan masalah atau
mencapai tujuan. Pemikiran Cushman dan Paerce (1977) tentang silogisme
pratikal yang berdasarkan aturan
dapat digunakan untuk memberikan sebuah contoh bagi aturan taktis. Apa yang
nampanya seperti aktivitas pemilihan yang melibatkan televisi sebenarnya
merupakan aktivitas memupuk hubungan yang harmonis. Sebagai contoh, Terry ingin
mempertahankan keharmonisan pernikahan dengan pasangannya, Pat. Untuk
melakukannya, Terry berniat "mengalah" pada kegiatan menonton
televisi sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga, Terry
mengganti saluran ke acara favorit Pat (Lull, 1982, h. 9). Dalam bentuk
silogisme praktikal, jika Terry ingin membuat Pat senang, Terry aan memilih
untuk "mengalah" dan membiarkan Pat menonton acara favoritnya.
Keluarga juga menggunakan televisi untuk tujuan sosial lainnya. Beberapa anggota
keluarga menyalakan televisi untuk menarik diri dari konflik keluarga. Keluarga
lain menggunakan kegiatan menonton televisi sebagai sebuah hadiah ataupun
hukuman. Keluarga jenis ini cenderung mengembangkan "aturan kontrol
sosial" di mana orang tua terbiasa mengontrol kebiasaan menonton anak
mereka. Aturan taktikal seperti itu menyatakan bahwa penggunaan televisi adalah
sebuah bentuk regulasi perilaku. Dua contoh aturan kontrol sosial yang
dideskripsikan Fry dan McCain (1980) adalah: "Saat aku ingin menghadiahi
anakku karena melakukan sesuatu yang terpuji, aku sering membiarkannya menonton
televisi lebih lama," dan :Saat anakku nakal, aku melarangnya menonton
televisi sebagai hukuman."
Penggunaan Relasi
bagi Televisi: Sebuah Studi Kuantitatif
Wolf, Meyer dan White (1982) mengadakan
sebuah studi kuantitatif untuk mengidentifikasi perilaku media berdasarkan
aturan pada sebuah pasangan. Peneliti mempelajari bagaimana sebuah pasangan,
Bob dan Carolyn, menggunakan media untuk mengkonstruksi dan menstruktur
realitas sosial mereka. Dalam periode 2 tahun peneliti mengobservasi, wawancara
dan sampel rekaman dari percakapan pasangan tersebut. Studi menemukan bahwa
pasangan ini menggunakan konten media untuk 4 tujuan sosial: memfasilitasi
komunikasi, berhubungan/penghindaran, pembelajaran sosial, dan
kompetensi/dominasi. Konten televisi membantu pasangan menciptakan topik
pembicaraan atau mengingatkan mereka akan perasaan dan pengalaman yang mereka
nyatakan satu sama lain atau kepada teman. Penggunaan tersebut
merepresentasikan fungsi media konten untuk memfasilitasi komunikasi.
Konten televisi seringkali menciptakan kesamaan bagi masyarakat, mengurangi
kegelisahan, menjelaskan nilai, dan "mengatur agenda" untuk
pembicaraan. Pasangan tersebut juga menggunakan konten media untuk berhubungan
dan/atau penghindaran. Menonton drama yang menyentuh hati biasanya membuat
sebuah pasangan menjadi lebih dekat, karena ia menstimulasi pasangan untuk
membuka perasaan, kebutuhan dan keinginan. Menonton televisi juga dapat digunakan
sebagai penghindaran. Sebuah pasangan dapat "mendiamkan pasangannya"
dengan menyalakan televisi. Kegunaan televisi yang ketiga adalah untuk pembelajaran
sosial. Beberapa orang menonton acara televisi seperti Jeopardy!
sebagai sebuah cara belajar tentang sejarah, geografi, literatur dan seni.
Keempat, konten media dapat digunakan untuk menunjukkan kompetensi atau
dominasi. Menonton iklan televisi mendorong Bob dan Carolyn untuk menantang
klaim sponsornya. Dengan cara ini, pengetahuan dan kompetensi ditunjukkan.
Perilaku sesuai-peran tertentu (seperti "penyedia" atau
"pelindung") menjadi jelas melalui gambar termediasi televisi.
Gambar-gambar tersebut membantu mengingatkan masyarakat tentang situasi di mana
mereka harus bertindak sesuai dengan perannya. Sebagai contoh, sebuah program
televisi menjelaskan bagaimana seorang suami yang mencintai, perhatian, dan
mendukung istrinya selama masa kehamilan sang istri. Menonton program ini dapat
membantu mengukuhkan perilaku sesuai-peran bagi pria yang istrinya sedang
hamil.
Sebagai pelajar komunikasi, Anda dapat
bersikap seperti peneliti untuk menyelidiki aturan aktivitas media keluarga.
Anda dapat mencoba mencari pola aktivitas media berdasarkan aturan jika Anda
tahu apa yang harus diobservasi dan pertanyaan apa yang harus ditanyakan.
Mencatat frekuensi pola perilaku yang terjadi adalah salah satu cara untuk
mengidentifikasi aturan komunikasi. Siapakah yang pertama menyalakan televisi
setelah makan malam? Siapa yang mengontrol perubahan saluran melalui remote control?
Apakah jenis negosiasi verbal dan nonverbal yang muncul saat keluarga
memutuskan untuk menonton televisi? Itu merupakan beberapa perilaku yang dapat
Anda cari untuk menentukan aturan menonton keluarga.
Manfaat Pendekatan
Aturan dalam Komunikasi Massa
Pendekatan aturan komunikasi telah muncul
sebagai paradigma alternatif yang bermanfaat bagi pembangunan teori komunikasi
massa. Lull (1982) menyarankan pendekatan aturan sebagai jembatan antara teori
"efek" dari interaksi manusia dan peneliti yang menganalisis konten
media serta hubungannya pada struktur ekonomi dan politik. Perspektif aturan
memandang anggota audiens sebagai partisipan aktif dalam proses komunikasi.
Paradigma aturan dapat digunakan untuk menjembatani jurang pemisah antara
mereka yang menganut efek langsung media dan pembuat teori kegunaan dan
gratifikasi. Menggunakan orientasi multi-perspektif dapat meningkatkan
kemungkinan membangun teori dalam komunikasi massa.
Teori Kultivasi
Teori Kultivasi dari efek komunikasi
massa telah secara luas dikembangkan oleh Gerbner dan rekan-rekannya pada
Annenberg School of Communication di University of Pennsylvania. Teori tersebut
telah dikembangkan dan diuji berulang kali sepanjang 20 tahun terakhir melalui
berbagai studi empiris. Teori Kultivasi menyatakan bahwa media terutama
televisi, memiliki pengaruh yang amat besar dalam mengubah persepsi individu
tentang realite. Teori Kultivasi (Gerbner, Gross, Morgan & Signorielli,
1980, 1986) menyatakan bahwa televisi bertanggungjawab atas perkembangan persepsi
bagi norma sehari-hari dan realita. Mendramatisir dan mempertunjukkan norma dan
nilai sebuah kebudayaan dulunya adalah tugas agama formal. Hari ini, televisi
merupakan medium utama bagi sebuah kebudayaan untuk memperolah norma-norma dan
nilai-nilainya. Televisi telah menjadi transmiter kebudayaan untama dalam
masyarakat sekarang (Gerbner & Gross, 1976a, b). Televisi telah menjadi
medium bagi kebanyakan orang untuk mengembangkan peran dan perilaku terstandar,
sehingga fungsi utamanya adalah membudayakan. "Hidup" di dunia
televisi menumbuhkan cara pandang tertentu terhadap realita. Beberapa orang
berpendapat bahwa televisi memberikan sebuah pengalaman yang lebih hidup, lebih
nyata, dan lebih berwarna daripada apapun yang dapat kita harapkan untuk
dialami dalam kehidupan nyata.
Interaksi Media dan
Realitas
Salah satu penulis baru-baru ini membaca
sebuah artikel di sebuah surat kabar lokal yang menggambarkan kecenderungan
kita untuk salah membedakan sebuah kejadian nyata dari rekaan televisi. Seorang
reporter menghentikan mobilnya pada persimpangan sebuah jalan kecil dengan
sebuah jalan tol. Ia melihat sebuah mobil mengebut di jalan tol pada kecepatan
100 mil per jam. Seiring mobil tersebut mencapai tempat di mana reporter tadi
berhenti, ia tiba-tiba berusaha membelok ke kiri tanpa menurunkan kecepatan. Ia
menabrak lampu rambu lalu lintas dan terbalik, dengan roda yang masih berputar.
Tidak ada orang lain di sana. Reporter tersebut mengatakan ia hanya dapat
melihat, tanpa bisa mempercayai apa yang baru saja ia lihat. Ia ingat
pikirannya berkata, "Apa yang sedang kamu lihat tidaklah nyata. Kamu hanya
sedang melihat sebuah film." Untuk hampir 10 detik ia hanya berdiri di
sana, menunggu untuk melihat apakah yang akan terjadi berikutnya. Tentu saja,
tidak ada yang terjadi, dan ia sadar bahwa hanya ia yang dapat menolong. Saat
ia mendekati mobil itu, ia ketakutan, dengan gaya film, untuk alasan yang
salah. Di TV dan film, semua mobil yang terbalik akan segera terbakar dan
meledak. Untungnya, di "kehidupan nyata" mobil jarang sekali meledak.
Dalam film dan TV, tidak ada "orang sungguhan" yang sungkan untuk
mendekati tubuh yang telah mati atau termutilasi. Reporter tadi amat takut ia
akan menemui kejadian seperti itu. Cerita ini mengungkapkan bahwa televisi dan
film membuat kita sulit membedakan antara ilusi dan realita. Kita terkadang
salah membedakan sebuah kejadian nyata dari kejadian di televisi, seperti
contoh yang ditulis di atas. Kita mungkin seringkali membuat kesalahan
tersebut. Kita seringkali menganggap televisi atau film sebagai hal yang nyata.
Fenomena ini memberikan dasar bagi penelitian Teori Kultivasi.
Penonton Televisi
"Berat" versus "Ringan"
Individu seringkali salah membedakan
realita konstruksi media dengan realita sebenarnya. Gerbner dan Gross (1976b)
melaporkan bahwa dalam 5 tahun pertama penyiaran Dr. Marcus Welby (seorang
dokter fiksi yang diperankan oleh Robert Young dalam televisi), acara tersebut
menerima lebih dari seperempat juta surat dari penonton. Kebanyakan surat
berisi permintaan bagi saran medis. Gerbner dan rekannya melaporkan bahwa
orang-orang yang banyak menonton televisi melihat dunia lebih berbahaya dan mengerikan dibanding
orang yang tidak banyak menonton televisi. Mereka telah mengidentifikasi 2
jenis penonton televisi yang berbeda dalam persepsi terhadap realita. Penonton
berat didefinisikan sebagai mereka yang menonton selama 2 jam atau lebih per
hari. Penonton ringan menonton dengan rata-rata 2 jam atau kurang per hari.
Gerbner telah melaporkan bahwa penonton berat membesar-besarkan peluang mereka
terlibat dalam sebuah kejahatan kriminal yang sadis. Mereka juga
membesar-besarkan jumlah penegak hukum dalam masyarakat. Salah satu alasan
kuatnya pengaruh televisi dalam proses kultivasi adalah banyak dari kita tidak
memiliki kesempatan untuk mengamati beberapa aspek realita sesering kita
mengamati realita termediasi. Kita mungkin memiliki kesempatan terbatas untuk
mengobservasi pekerjaan internal di dalam kantor polisi sebenarnya, kamar
operasi rumah sakit, dan ruang pengadilan. Hal ini membuat gambaran media
menjadi gambaran kita tentang realita. Pernahkan Anda menyadari pesta tahun
baru yang kita hadiri tidak pernah semeriah pesta tahun baru yang kita
lihat di televisi?
Studi kultivasi tetap memasukkan faktor
seperti tingkat pendidikan dan membaca surat kabar dalam menentukan pengaruh
media terhadap persepsi realita. Walaupun pendidikan dan membaca surat kabar
memiliki pengaruh, namun pengaruh menonton televisi masih lebih kuat.
Satu-satunya faktor yang nampaknya memiliki efek independen terhadap persepsi
adalah usia. Responden di bawah 30 tahun dilaporkan secara konsisten bahwa
respon mereka lebih terpengaruh televisi dibanding mereka yang di atas 30 tahun
(Gerbner & Gross, 1976b). Semenjak orang berusia 30 tahun dan kurang dari
itu biasanya "tertempel" pada televisi, pengaruh pesan media lebih
kuat. Seperti yang dilaporkan Gerbner dan rekan-rekannya, semakin lama
seseorang "hidup" dalam dunia televisi, semakin realita dan gambaran
media tentang realita menjadi kongruen.
Pemolesan Teori
Kultivasi
Sebagai respon untuk tantangan kepada
Teori Kultivasi, Gerbner dan rekan-rekannya memperkenalkan faktor mainstreaming
dan resonansi membantu menambah kekuatan penjelasan tentang efek kultivasi
(Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, 1980). Mainstreaming
menyatakan bahwa perbedaan persepsi realita karena faktor demografis dan sosial
ternyata dihilangkan dengan sering menonton TV. Penonton televisi berat yang
memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang tinggi cenderung merespon sama
seperti penonton televisi berat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang
lebih rendah. Seperti yang dinyatakan Gerbner dan rekan-rekannya "Penonton
berat dari semua kelompok cenderung sama-sama memiliki pandangan yang relatif
homogen" (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, 1980, h. 15). Resonansi
menyatakan bahwa pengaruh pesan media terhadap persepsi realita meningkat
saat apa yang dilihat masyarakat di televisi adalah apa yang mereka lihat di
kehidupan. Dosis ganda dari pesan televisi cenderung membesarkan efek
kultivasi.
Kritik dan
Modifikasi terhadap Teori Kultivasi
Terlepas dari banyaknya data yang
mendukung teori tersebut, efek kultivasi telah berhadapan dengan beberapa
tantangan. Hughes (1980) dan Hirsch (1980) menganalisa kembali data dari
National Opinion Research Center General Social Survey yang digunakan pada
penelitian aslinya dan gagal menemukan dukungan bagi asumsi inti Teori
Kultivasi. Kritik bagi teori tersebut berpendapat bahwa Teori Kultivasi mungkin
tidaklah benar. Hughes (1980) melaporkan bahwa televisi mungkin benar-benar
mengkultivasi persepsi realistis dan fungsional dari dunia. Ingatlah kembali
beberapa penelitian yang mengidentifikasi fungsi prososial media. Terdapat
pendapat bahwa sebagian besar asumsi Teori Kultivasi mungkin benar, tapi
prosedur yang digunakan untuk mempelajarinya tidak mampu untuk menyibakkan efek
sebenarnya. Hughes (1980) menyatakan bahwa pengukuran penonton berat hanya
berhubungan dengan total keterpaan terhadap televisi, bukan apa yang ditonton
secara spesifik. Karakter personaliti tertentu yang berhubungan dengan
pemilihan program televisi tidak dikontrol dalam studi awal. Hawkins dan
Pingree (1982) memeriksa 48 studi penelitian dilaksanakan tentang efek
kultivasi. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat bukti yang cukup untuk mendukung
pengarung menonton televisi terhadap persepsi realitas. Mereka menyarankan
bahwa pengaruh ini paling kuat pada program yang mengandung unsur kekerasan.
Baru-baru ini, Potter (1986) mengelompokkan subyek dalam beberapa dimensi
realita berdasarkan tingkat realita yang "dilihat" masyarakat dalam
pesan termediasi. Faktor ini lebih bersifat psikologis daripada variabel yang
digunakan dalam pengujian teori yang sebelumnya. Potter (1986) menyimpulkan
bahwa efek kultivasi mungkin lebih kompleks dari yang telah dinyatakan; lama
keterpaan terhadap televisi mungkin kurang penting dibanding sikap dan persepsi
individu yang ditunjukkan. Tidak terdapat keraguan bahwa kontroversi yang
mengelilingi pengaruh media pada persepsi dan perilaku kita akan terus terjadi.
Kita dapat berharap penelitian lebih lanjut dari cendekiawan komunikasi massa
di bidang ini. Penemuan baru akan memoles dan memajukan upaya kita untuk
membentuk teori komunikasi massa.
Rangkuman
Media massa memiliki pengaruh yang kuat
pada kebudayaan dan perilaku indiivdu. Media mencerminkan sikap dan nilai
sebuah kebudayaan dan memproyeksikan banyak pandangan dari sebuah masyarakat
kepada anggotanya. Teori Peluru menyatakan bahwa media massa mempengaruhi
kelompok besar masyarakat secara langsung dan seragam. Teori Dua Tahap
berpendapat bahwa terdapat beberapa variabel yang menengahi antara pesan media
dan reaksi audiens: kontak interpersonal yang informal dan pengaruh pemimpin
opini. Teori Difusi tumbuh dari model awal tersebut. Ia mengidentifikasi
kondisi yang mempengaruhi kemungkinan sebuah ide, produk, atau perilaku baru
akan diadopsi. Beberapa teori komunikasi massa kontemporer telah disajikan.
Komunikasi massa memiliki 5 fungsi untuk sebuah masyarakat: pengawasan,
korelasi, tranasmisi kultural, hiburan, dan mobilisasi. Media juga memiliki
fungsi agenda-setting; mereka mempengaruhi sikap kita dengan memfokuskan
perhatian secara selektif kepada masalah tertentu. Teori Komunikasi
Interpersonal Termediasi dari Gumpert dan Cathcart memeriksa interaksi
komunikasi interpersonal dan media. Teori ini menemukan pengaruh teknologi
termediasi dalam komunikasi interpersonal dan pengaruh interaksi langsung pada
media. Teori Kegunaan dan Gratifikasi mencoba menjelaskan motif tersebunyi dari
penggunaan komunikasi massa bagi individu. Asumsi inti dari teori ini adalah
audien merupakan sebuah kelompok aktif yang mencari dan menggunakan media untuk
memenuhi kebutuhan tertentu. Teori komunikasi massa berdasarkan aturan dan
perilaku audiens juga telah disajikan. Teori Perilaku Audiens dari Lull
mengidentifikasi 3 kelas perilaku berdasar aturan dalam menonton televisi
keluarga. Pengaruh media terhadap persepsi realitas dijelaskan dalam Teori
Kultivasi. Teori ini menyatakan bahwa televisi bertanggungjawab atas perkembangan
persepsi norma sehari-hari dan realita. Teori ini berpendapat bahwa televisi
telah menjadi medium di mana banyak orang mengembangkan peran dan perilaku
terstandar.
Pertanyaan untuk
Dipikirkan
1. Apakah pertanyaan telah membimbing penelitian komunikasi massa dan
pembangunan teori?
2. Apakah yang dikatakan Teori Reflektif-Proyektif tentang efek media
massa?
3. Apakah 5 fungsi media massa bagi masyarakat?
4. Jelaskan konsep agenda-setting media.
5. Apakah perbedaan Teori Peluru dan Teori Dua Tahap dalam menjelaskan
efek media massa?
6. Apakah fokus dari Teori Difusi? Apakah ia memprediksikan tentang
inovasi komunikasi massa?
7. Bagaimana Teori Komunikasi Interpersonal Termediasi berusaha
menggabungkan masalah interpersonal dan media massa?
8. Bagaimana Teori Kegunaan dan Gratifikasi mengkonsepkan komunikasi
termediasi?
9. Diskusikan beberapa contoh penelitian yang dilakukan dengan
kerangka kerja Kegunaan dan Gratifikasi.
10. Apakah asumsi utama teori media massa dan perilaku audiens dari
Lull?
11. Apakah yang dikatakan Teori Kultivasi tentang efek media massa?
Untuk memperbaiki dan mengembangkan blog ini menjadi lebih baik, mari bersama - sama kita bangun, caranya? Apabila kamu menemukan link yang mati/sudah tidak berfungsi atau gambar yang sudah tidak muncul/expire, silahkan hubungi kami disini. Laporan anda sangat berpengaruh pada perkembangan blog ini.Tanks atas perhatiannya
GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel yang terbaru
Dari Kami langsung ke email anda!
Dari Kami langsung ke email anda!
0 komentar:
Posting Komentar