Kompetisi Blog Pesona Sumatera Selatan
Anda disini » Home » ceRpen (saLuang daRi MinangkaBau)

ceRpen (saLuang daRi MinangkaBau)

By Ismerisa_Elzahiera | Senin, 20 Juni 2011

Sebelum Membaca, Ayo Berbagi :
“assalamualaikum..bu..bu ratmi?”
“ya bu, silahkan masuk.”
“Saya di luar saja, saya sedang terburu-buru. Bu Ratmi, saya kesini mau minta uang, soalnya mau bayar uang sekolah anak, kemarinkan ibu sudah janjikan awal bulan mau bayar hutang. Saya tunggu-tunggu ko nggak datang ke rumah?”
Tampak cemas dari raut wajah ibu.
“aduh, maaf ya bu titin. Saya belum ada uang. Belum terima gaji bulan ini. Bapak juga masih belum ada yang manggil buat ngisi acara. Maaf ya bu...maaf sekali... kalau udah ada uang pasti saya bayar.” Jawab ibu sambil menundukkan kepala.
“uufffhh…ngomongnya gitu terus tapi mana buktinya?sudah hampir empat bulan hutang ibu belum di bayar. Emangnya ibu pikir saya dan keluarga tidak butuh uang?” wajah bu titin mulai berubah. Nada berbicaranya pelan tapi menusuk.
Aku hanya bisa terpaku melihat ibu yang hanya bisa tertunduk menghadapi kemarahan bu titin.
“ya sudahlah, percuma saja saya kesini lama-lama. Kalo akhirnya tidak dapat uang. Bu, saya harap ibu bisa secepatnya mengembalikan hutang ibu. Karna saya juga telah lelah menunggu.”
“iya bu. Terimakasih atas pengertian ibu.”
Akhirnya ibu titin meninggalkan rumah kami dengan wajah yang cemberut dan aku yang masih terpaku karna hanya bisa memandang kejadian tadi tanpa dapat mengucapkan satu katapun. Bibirku terasa keluh, tenggorokanku tercekat. Entah berapa lama aku berdiri mematung di balik pintu.
“Lili, apa yang kamu kerjakan disitu nak?”
Suara ibu membangunkanku dari kekakuan.
“emmm..iya bu? ada apa?”
“eh, anak gadis hobinya melamun. Coba tolong ibu menanak nasi dulu sana.”
“oo,iya bu.” jawabku sambil tersenyum tipis. Namun penuh gejolak di dada. Lagi-lagi tetangga menagih hutang. Bosan. Sumpek. Ingin rasanya lari dari kehidupan ini. Tapi mau ke mana? Kenapa hidup keluargaku amat jauh dari kecukupan, Tuhan?
Ku langkahkan kakiku menuju dapur. Aku teringat bahwa beras dalam karung hanya tinggal 5 kaleng susu. Tumbuhku kembali melemah mengingat itu. Sudah lebih dari dua tahun kami sekeluarga menghemat makan nasi, terkadang makan nasi satu kali sehari atau nasi di campur jagung saja. Mengingat jumlah keluarga enam orang, mana mungkin kami bisa makan sekenyang-kenyangnya dengan keadaan perekonomian keluarga seperti saat ini. Bahkan setiap kami ingin makan, ibu selalu mengingatkan agar menunggu ayah yang belum pulang karna harus mencari keluarga yang mau meminta ayah untuk mengisi di acara pernikahan anaknya. Jika ayah pulang larut malam, kamipun harus makan larut malam juga. Kata ibu kebersamaan yang mampu membuat kita bisa tetap akur.
Ingin rasanya menangis jika melihat kedua orang tuaku bekerja keras mencari rizki agar kami tetap bertahan hidup. Aku hanya bisa mendo’akan semoga gaji ibuku yang hanya tukang cuci di rumah-rumah tetangga bisa naik gaji dan ayah bisa mendapat kesempatan besaluang di acara pernikahan warga kampung.
***
Hari sudah lewat senja ketika pintu depan terbuka dan seraut wajah letih ayah muncul di hadapan kami. Secepatnya ibu menyongsong segelas air putih untuk ayah. Dan ayahpun beristirahat sejenak disampingku.
Seperti biasanya, setiap ayah pulang kami baru bisa makan. Kamipun menikmati hidangan apa adanya. Nasi putih di campur sedikit jagung. Nikmat ini sungguh hanya karna rasa syukur yang tak bertepi atas nikmat dari Sang Maha Pencipta. Seusai makan malam, aku berusaha membuka pembicaraan dengan ayah.
“gimana yah hari ini? Ada yang mau minta ayah mengisi acaranya??”
Ayah Kembali meneguk air putih. Kemudian menarik nafas panjang.
“belum nak.”
Aku kembali lesu.
“ apakah ayah tidak terfikir untuk mencari kerja lain?” Tanyaku sambil menatap ayah.
Ayah melirikku. Tapi tanpa jawaban.
“Ayah harusnya sudah menyadari bahwa orang-orang lebih suka menikmati organ tunggal yang menampilkan penyanyi-penyanyi dangdut di bandingkan saluang. Itu karena mereka sudah tidak tertarik lagi pada saluang. Kalau ayah kerja lain, siapa tau nasib mujur tiba. Kita tidak lagi serba kekurangan yah”.
“Menurutmu kalau tidak bersaluang ayah  harus  apa, nak?” akhirnya ayah angkat suara.
“Ayah kan bisa jadi hansip jaga kampung kita atau jadi satpam sekolah atau kerja apalah, kan masih banyak kerja lain.”
“iya nak, tapi kalau ayah kerja seperti itu, siapa yang akan basaluang?”
“kenapa ayah harus  mikirkan itu yah? yang seharusnya ayah pikir tu nasip keluarga kita.”
Nada suaraku semakin tinggi.
“kalau bukan ayah yang memikirkannya lalu siapa lagi, nak?” ayah masih bersikap tenang.
“ kenapa harus ayah yang pusing mikirin itu yah? Kalau kita sendiri susah untuk hidup tanpa uang. Lagi pula ayah juga sulit mendapatkan uang dari basaluang.”
“ iya nak, memang kita ini orang susah, tapi kalau bukan ayah yang basaluang siapa yang akan mewarisi saluang nantinya? siapa yang masih ingat kisah-kisah minangkabau puluhan tahun yang akan datang? siapa yang akan mengajarkan falsafah-falsafah adat kita?tahukan orang-orang bahwa sebenarnya daerah mingkabau tidak cukup hanya di sebut daerah minangkabau saja? Harus ada kata-kata ‘alam’ didepannya. Tahukah orang mengapa alam minangkabau tidak di kenal batasan-batasannya?” aku terdiam menatap ayah.
“bila hidup hanya mengingat uang, mungkin sekarang ayah sudah kaya. Tapi ada yang tak bisa di beli dengan uang, nak. Yaitu hati. Kecintaan ayah dengan saluang tak bisa di bayar dengan apapun. Karena dari sanalah ayah belajar menghargai hidup yang hanya satu kali ini, nak.”
Aku hanya bisa tertunduk lesu. Menahan sesak di dada.  Aku tak pernah menyangka bahwa hati ayah semulia itu.
“saluang ini sudah tua, nak. Sama seperti ayah yang sudah renta. Dan suatu saat akan hilang bersama di makan zaman.”
Perlahan ayah meniupkan saluang dengan mengalunkan irama khas minangkabau. Irama yang setiap hari aku dengar dari aku kecil hingga beranjak dewasa. Air mataku tak tertahan lagi.
“ayah maaf, li ndak tau. Ternyata sedalam itu rasa cinta ayah pada saluang dan tanah minang. Li menyesal telah memojokkan ayah dengan pekerjaan yang semulia itu.” Ku peluk ayah dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Ayah berhenti bersaluang. Kemudian mengusap kepalaku dengan lembut.
“Ini lah kehidupan nak. Memang tak muda menjalani hidup menjadi orang yang kekurangan tetapi bila menjadi orang yang berlebih harta namun tak bahagia apalah guna.”
Aku pun larut dalam usapan kasih sayang ayah. Suasana menjadi hening.


Attention
PLEASE ATTENTION !

Untuk memperbaiki dan mengembangkan blog ini menjadi lebih baik, mari bersama - sama kita bangun, caranya? Apabila kamu menemukan link yang mati/sudah tidak berfungsi atau gambar yang sudah tidak muncul/expire, silahkan hubungi kami disini. Laporan anda sangat berpengaruh pada perkembangan blog ini.Tanks atas perhatiannya thanks

GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel yang terbaru
Dari Kami langsung ke email anda!

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar, kritikan atau saran anda mengenai artikel di atas untuk mendapatkan backlink gratis dari Your Blog ini. Komentar yang tidak sesuai topik, SPAM, Penghinaan, dsb terpaksa akan saya hapus ! Tanks be 4,,.

 
Home | About Us |Contact Us | Advertise with Us | Free Blogger Templates | Widget | Site Maps
Copyright © 2010 - 2012. Pusat-cara.blogspot.com - All rights reserved | Proudly Powered by Blogger.com
Website Design by IDJUNAYDOTCOM | Sponsored by www.kent.prasetiyamandiri.com